THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Minggu, 17 Agustus 2008

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Pendahuluan
Belajar bahasa adalah belajar berbahasa, artinya berpraktik menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan maknanya dalam komunikasi. Karena itu, belajar bahasa terjadi dalam suatu kegiatan interaksi belajar-mengajar bahasa. Aktivitas interaksi pembelajaran bahasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan aktivitas interaksi pembelajaran mata pelajaran lainnya. Karakteristik aktivitas interaksi belajar-mengajar bahasa disajikan berikut ini.
(1) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar berpusat pada siswa. Artinya, siswa yang harus aktif dalam melaksanakan praktik penggunaan bahasa. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar merupakan salah satu karakteristik yang menonjol dari interaksi pembelajaran.
(2) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah secara langsung pada latihan atau praktik penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulis. Praktik penggunaan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa, karena pengajaran yang hanya difokuskan pada pemahaman kaidah bahasa tidak akan berpengaruh pada performansi aktual baik dalam berbicara maupun menulis.
(3) Aktivitas yang dilaksanakan dapat membina dan mengarahkan kemampuan siswa dalam memilih dan menata bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu tindak komunikasi. Faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi siapa partisipan wicara, untuk tujuan apa, dalam situasi bagaimana, dalam konteks apa, dengan jalur dan media mana, dan dalam peristiwa apa.
(4) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah pada kreativitas penggunaan bahasa bukan hanya penggunaan bahasa yang bersifat mekanik. Aktivitas yang dilaksanakan harus benar-benar memberikan kesempatan kepada pelajar untuk menggunakan bahasa secara kreatif dengan jalan bebas memilih apa yang akan diungkapkan dan bagaimana mengungkapkannya. Latihan-latihan yang bersifat mekanik harus diminimalkan karena tidak memberikan kesempatan pada pelajar untuk berkreasi dalam memilih dan menata bahasanya sendiri.
Agar aktivitas interaksi belajar-mengajar sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat dicapai, setiap guru bahasa harus dapat berperan sebagai individu yang mampu memberikan bimbingan, memantau kegiatan siswa, menciptakan latihan-latihan kreatif, dan dalam kesempatan yang lain dapat bertindak sebagai teman komunikasi bersama-sama dengan siswa. Interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar berasal dari dan terletak pada siswa. Siswa harus mendapat kesempatan dalam interaksi komunikatif yang bermakna. Dalam hal ini siswa berperan sebagai subjek didik, sedangkan guru bertindak sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan, dan pembimbing siswa dalam berlatih berkomunikasi secara wajar.
Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam kegiatan belajar-mengajar harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan memotivasi belajar siswa. Motivasi yang tinggi akan dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini terjadi karena dengan motivasi yang tinggi, siswa terdorong untuk mengetahui, kemudian melakukan sesuatu untuk dapat menerima apa yang ingin diketahuinya tersebut. Peningkatan motivasi siswa dalam belajar dapat dilihat pada adanya keterlibatan secara aktif siswa terhadap hal-hal yang dipelajarinya. Sebaliknya, pengajaran yang kurang sesuai dengan kebutuhan siswa akan sangat membosankan, sehingga motivasi belajar siswa menjadi rendah.
Sehubungan dengan uraian di atas, berikut ini ditawarkan startegi pembelajaran berbasis masalah untuk pembelajaran bahasa Indonesia. Model tersebut disajikan secara singkat berikut ini.

Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
Strategi pembelajaran berbasis masalah (SPBM) merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat menciptakan kondisi belajar siswa lebih aktif dan kreatif. Melalui SPBM, siswa terlibat secara aktif dalam pemecahan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut, Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997) menyatakan bahwa SPBM adalah suatu pendekatan pembelajaran yang mengonfrontasikan pelajar secara positif dengan masalah-masalah praktis melalui stimulus dalam belajar (Dasna, 2005).
SPBM memiliki beberapa karakteristik di antaranya adalah (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar masalah, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa pembelajaran dengan model SPBM dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang telah diketahui dan apa yang perlu diketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerja sama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti memahami masalah, mengidentifikasi masalah, merancang kegiatan pemecahan masalah, mengumpulkan informasi dari berbagai rujukan, menginterpretasikan jawaban masalah, membuat simpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model SPBM dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan kata lain, penggunaan SPBM dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.



Pentingnya SPBM
SPBM merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam SPBM, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah, tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah. Oleh sebab itu, pelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian, tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri pelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan....”, “mengapa bisa terjadi....”, “bagaimana mengetahuinya...” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pelajar, motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pelajar tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan SPBM dalam pembelajaran dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari karena berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada cara dia membelajarkan dirinya.
Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pelajar yang diajar dengan SPBM, yaitu (1) inkuiri dan keterampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Siswa yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill), yakni mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. SPBM juga bertujuan untuk membantu pelajar siswa belajar secara mandiri.
Pembelajaran SPBM dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor, yaitu kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218).
Kasus-kasus berhubungan dapat membantu pelajar untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu siswa belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu pelajar meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi pelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas berpikir luas (divergent) dalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang ditetapkan, siswa dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah dan dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar bahasa, pengetahuan siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.
Cognitive tools merupakan bantuan bagi pelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu pelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.
Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu pelajar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”.
Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi intensif yang di dalamnya terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat membantu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah.
Dukungan sosial dan kontekstual berhubungan dengan kondisi yang menjadikan masalah (yang menjadi fokus pembelajaran) dapat membuat pelajar termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok ini penting dalam menumbuhkan kondisi yang saling memotivasi antarpelajar. Suasana kompetitif antarkelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh guru untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa SPBM sebaiknya digunakan dalam pembelajaran dengan beberapa alasan sebagai berikut.
(1) Dengan SPBM akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi diterapkannya konsep tersebut.
(2) Dalam situasi SPBM, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang dilakukan oleh siswa sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori akan ditemukan oleh mereka selama pembelajaran berlangsung.
(3) SPBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, menumbuhkan motivasi intrinsik untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Gejala umum yang terjadi pada siswa pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan ini berlangsung terus, siswa akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model SPBM merupakan alternatif yang dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong siswa berpikir dan bekerja dan tidak hanya menghafal dan bercerita.

Tahap-tahap SPBM
Ada beberapa cara menerapkan SPBM dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa atau mungkin juga diberikan oleh guru. Siswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.
Pemecahan masalah dalam SPBM harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian, siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan SPBM dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran SPBM menurut Pannen (2001) paling sedikit ada delapan tahapan, yaitu (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk memecahkan masalah. Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berpikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula keterampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam SPBM. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah sering menjadi ”masalah” bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun tidak melakukan intervensi terhadap masalah, guru dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan.
Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam SPBM adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan siswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui SPBM. Namun, yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas. Apalagi jika SPBM digunakan untuk proses pembelajaran di perguruan tinggi.
Arends (2004) merinci 5 fase pelaksanaan SPBM dalam pengajaran. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan SPBM. Fase-fase yang dimaksudkan sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Fase-fase Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase Aktivitas guru
Fase 1:
Mengorientasikan siswa pada masalah Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih
Fase 2:
Mengorganisasi siswa untuk belajar Membantu siswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi
Fase 3:
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai dan mencari informasi untuk penjelasan dan pemecahan masalah.
Fase 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Membantu siswa merencanakan dan menyi-apkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Fase 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Membantu siswa melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang digunakan selama berlangusungnya pemecahan masalah.

Fase 1: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan SPBM, tahapan ini sangat penting. Dalam hal ini, guru harus menjelaskan dengan rinci kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa dan juga oleh guru. Di samping proses yang akan berlangsung, perlu juga dijelaskan cara evaluasi yang akan dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu (1) tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi siswa yang mandiri, (2) permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan sering bertentangan, (3) selama tahap penyelidikan, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi, sedangkan guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, dan (4) selama tahap analisis dan penjelasan, siswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Semua siswa diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.

Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Disamping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, SPBM juga mendorong siswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerja sama dan sharing antaranggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa yang tiap-tiap kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antaranggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru perlu penting memonitor dan mengevaluasi kerja tiap-tiap kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah siswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar, guru dan siswa menetapkan sub-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.

Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah inti dari SPBM. Kegiatan yang dilakukan pada fase ini meliputi mengumpulkan data dan melakukan eksperimen, berhipotesis dan membuat penjelasan, dan memberikan pemecahan.
Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini, siswa seharusnya lebih dari sekedar membaca masalah-masalah dalam buku-buku. Guru perlu membantu siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber. Guru hendaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang diselidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong siswa untuk menyampaikan ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berpikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi siswa. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”. Oleh karena itu, selama fase ini, guru harus menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas siswa dalam kegaitan penyelidikan.

Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan memamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, tetapi bisa berupa videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berpikir siswa. Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan siswa-siswa lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.

Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam SPBM. Selama fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan SPBM untuk pengajaran.

SPBM dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
SPBM dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia. SPBM memiliki manfaat besar dalam melatih kreativitas, daya pikir, dan kemandirian siswa. Gallagher, dkk. (1995) menyatakan bahwa SPBM dapat digunakan sebagai alat dan eksperimentasi yang melatih siswa untuk memecahkan masalah. Mereka menggunakan suatu kerangka kerja yang menekankan bagaimana para siswa merencanakan suatu kegiatan untuk menjawab sederet pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Gallagher berbasis pada “what do I know”, “what do I need to know”, “what do I need to learn”, dan “how do I measure or describe the result”. Selama fase merancang kegiatan berbasis masalah, para siswa mengidentifikasi berbagai persoalan dan menyusun suatu daftar setiap tahap kegiatan yang akan dilakukan.
Sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran, SPBM dapat diterapkan untuk untuk melatih siswa bekerja secara mandiri dan menggunakan potensi serta kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran, siswa mendapat porsi dan peluang besar untuk berlatih menggunakan daya pikir dan keterampilannya dalam menyerap dan menguasai materi ajar yang dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan ruh pembelajaran bahasa, yakni melatih dan membelajarkan siswa terampil dan mahir berbahasa. Anak yang terampil dan mahir berbahasa adalah anak yang dapat menggunakan kompetensi dan performansi bahasanya secara optimal, baik kompetensi dan kompetensi berbahasa reseptif maupun produktif.
Pembelajaran bahasa pada hakikatnya adalah pembelajaran menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Dalam pembelajaran bahasa, siswa dilatih dan dibelajarkan untuk menggunakan bahasa sebagai wahana untuk menyerap informasi, menganalisis, menyintesis, mengevaluasi, dan menyampaikannya sebagai informasi baru. Bahasa dalam hal ini difungsikan sebagai sarana untuk berpikir, bernalar, dan berkomunikasi, bukan sebagai materi yang harus dihafal.
Pada umumnya, pembelajaran bahasa sering terjebak pada pembelajaran konseptual tentang bahasa. Bahasa diajarkan sebagai konsep yang harus dihafal dan dimengerti oleh anak sebagaimana pembelajaran ekonomi, kimia, fisika, dan biologi. Anak dibebani pekerjaan untuk menghafal sejumlah istilah yang tidak menguntungkan bagi pembelajaran bahasa. Wal hasil, anak lebih mahir menjelaskan istilah-istilah tersebut, tetapi tidak mampu menggunakan atau menerapkan istilah tersebut dalam aktivitas berbahasa (dalam menulis misalnya). Sebagai contoh, anak memahami dan mampu menjelaskan serta memberi contoh pengertian sinonim, tetapi anak tidak dapat memanfaatkan sinonim tersebut untuk kepentingan menulis atau membaca. Karena itu, model pembelajaran yang demikian ini perlu dirombak sehingga menjadi model pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif.
Standar isi kurikulum bahasa Indonesia menekankan materi pembelajaran bahasa yang lebih bersifat fungsional. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, diharapkan siswa mampu menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan fungsinya. Sebagai contoh, beberapa pokok materi ajar bahasa Indonesia dalam kurikulum bahasa Indonesia SMA adalah membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, menyusun proposal, dan sebagainya. Siswa perlu dilatih dan dibelajarkan menggunakan bahasa Indonesia untuk kepentingan membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, dan menyusun proposal, bukan diminta untuk memahami dan menghafal sistematika dan ciri-ciri surat, karya ilmiah, paragraf, dan pidato.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia secara fungsional, terdapat tiga masalah pokok yang perlu mendapatkan perhatian dari guru. Ketiga masalah pokok tersebut adalah (a) masalah isi/topik, (b) masalah sistematika/format, dan (c) masalah tatanan bahasa dengan berbagai variasi kesantunannya. Masalah isi/topik merupakan masalah pengetahuan umum yang penguasaannya dapat dilatihkan kepada siswa melalui berbagai bidang studi dan dengan banyak membaca. Masalah sistematika/format merupakan perihal standar yang dapat ditemukan dalam berbagai refernsi. Sementara, masalah bahasa dengan variasi kesantunannya merupakan masalah yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam pengemgembangannya. Karena itu, masalah ketiga ini merupakan fokus utama yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam aktivitas pembelajaran.
Berdasarkan karakteristik materi ajar bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, SPBM dapat dipandang sebagai salah satu strategi yang memberikan peluang besar bagi aktivitas kelas dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Melalui pembelajaran dengan strategi SPBM, aktivitas pembelajaran akan menyadarkan siswa untuk bertanya pada dirinya sendiri tentang masalah/topik apa yang akan diketahui, aktivitas apa yang perlu dilakukan untuk mengetahuinya, bagaimana usaha untuk mempelajarinya, dan bagaimana mengukur keberhasilan dan mendeskripsikan hasilnya. Jika kesadaran siswa dalam belajar telah sampai pada taraf tersebut, hal ini berarti bahwa aktivitas kelas telah berhasil dalam mencapai tujuan pembelajaran, yakni penciptaan kelas learning how to learn.

Penerapan SPBM dalam Pembelajaran
a. Hal yang harus disiapkan guru sebelum pembelajaran
1) Lakukan identifikasi dan pemetaan topik/kompetensi dasar dalam kurikulum yang akan dibelajarkan kepada siswa.
2) Siapkan lembar-lembar kasus/masalah yang akan diberikan kepada siswa.
3) Lakukan penjajagan ke perpustakaan sekolah untuk menentukan keberadaan sumber referensi yang diperlukan.
4) Siapkan sumber referensi lain yang diperlukan jika hal tersebut tidak tersedia diperpustakaan.
5) Buatlah rambu-rambu masalah dan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa.



b. Hal yang dilakukan guru selama pembelajaran
1) Ciptakan kondisi dan situasi kelas yang siap untuk menerima informasi dan melakukan aktivitas pembelajaran.
2) Sampaikan kepada siswa tentang topik/materi yang akan dipelajari.
3) Jelaskan tujuan yang akan dicapai dalam aktivitas pembelajaran.
4) Jelaskan aktivitas yang akan dan harus dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran.
5) Tentukan dan tawarkan kepada siswa apakah aktivitas terseebut dilakukan secara individual atau kelompok.
6) Jika aktivitas dilakukan secara kelompok, tentukan kelompok kerja siswa (pembentukan kelompok dapat dilakukan dengan beragam cara yang menarik).
7) Berikan kasus/masalah kepada siswa untuk dicari penyelesaiannya sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan.
8) Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengenali kasus dan mengidentifikasi kegaiatan yang akan dilakukan.
9) Arahkan siswa untuk memperdalam wawasannya tentang kasus dengan membacanya dari buku referensi (dapat mencarinya di perpustakaan atau disiapkan oleh guru).
10) Bimbinglah siswa untuk menemukan jawaban/penyelesaian masalah dengan cara mendiskusikannya dengan teman/kelompoknya.
11) Sarankan kepada siswa untuk segera menyusun laporan hasil pemecahan/penyelesaian kasus/masalah.
12) Lakukan aktivitas seminar/sidang pembahasan kasus per kelompok atau antarkelompok (aktivitas ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran yang menarik, misalnya: jig saw, pemajangan karya dan komentar kelompok lain, atau model lainnya).
13) Lakukan sidang pleno pembahasan kasus dan penarikan simpulan.
14) Lakukan aktivitas refleksi.




Beberapa Catatan Penting
a. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru jangan sampai terjebak pada pembelajaran konsep, tetapi guru hendaknya lebih menitikberatkan pada pembelajaran keterampilan menggunakan bahasa.
b. Siswa jangan dibebani oleh usaha untuk menghafalkan konsep/istilah, tetapi hendaknya lebih difokuskan pada upaya menggunakan konsep/istilah tersebut.
c. Dalam membelajarkan topik tertentu, guru sebaiknya lebih banyak menggunakan model ilustratif bukan model definitif.
d. Dalam mempersiapkan aktivitas pembelajaran, guru tidak perlu menjelaskan nama metode yang akan digunakan, tetapi langsung mengarahkan siswa pada aktivitas yang harus dilakukan berdasarkan metode itu.
e. Dalam mempersiapkan pembelajaran, guru jangan disibukkan oleh pembekalan diri terhadap banyaknya materi yang akan diajarkan, tetapi perkayalah diri dengan berbagai strategi untuk membelajarkan siswa tentang materi itu.
f. Sumber dan media belajar bahasa Indonesia tidak hanya berupa buku teks, tetapi telah tersedia banyak dan bervariasi di lingkungan kita.
g. Dalam aktivitas pembelajaran, berikan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi dan beralternasi dalam berpendapat selama yang bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya itu.

DAFTAR PUSTAKA
Boud, D. Dan Felleti, G.I. 1997. The challenge of problem based learning. London: Kogapage
Cannon, K.C dan Krow, G, R. 1998. Synthesis of Complex Natutal Product as a Vehicle for Student-centered, Problem-based Learning. Journal of Chemical Education, 75(10), 1259-1260.
Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan Kooperatif learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah metodologi penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UM.
Depdiknas. 2004. Landasan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. Jakarta: Dirjen
Dikdasmen.
De Porter, B., Reardon, M., dan Sarah Singer-Nourie. 2001. Quantum Teaching. Bandung:Kaifa.
Fogarty, R. 1997. Problem-based learning and other curriculum models for the multiple intelligences classroom. Arlington Heights, Illionis: Sky Light.
Jonassen, D.H. 1999. Designing constructivist learning environments. Dalam Reigeluth, C.M. (Ed): Instructional-design theories and models: A new paradigm of instructional theory, volume II. Pp. 215-239. New Jersey: Lawrence Erlbaum associates, Publisher.
Sutrisno. 2006. Problem-based Learning. Dalam monograf Model-model pembelajaran Sains (kimia) inovatif. Malang:Jurusan Kimia

0 komentar: