THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Selasa, 26 Agustus 2008

MODEL INOVATIF PEMBELAJARAN BAHASA

Model Pembelajaran Lingkungan dan Model Pembelajaran Kooperatif
(Oleh: Imam Suyitno)

A. Pendahuluan
Belajar bahasa adalah belajar berbahasa, artinya berpraktik menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan maknanya dalam komunikasi. Karena itu, belajar bahasa terjadi dalam suatu kegiatan interaksi belajar-mengajar bahasa. Aktivitas interaksi pembelajaran bahasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan aktivitas interaksi pembelajaran mata pelajaran lainnya. Karakteristik aktivitas interaksi belajar-mengajar bahasa disajikan berikut ini.
(1) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar berpusat pada siswa. Artinya, siswa yang harus aktif dalam melaksanakan praktik penggunaan bahasa. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar merupakan salah satu karakteristik yang menonjol dari interaksi pembelajaran.
(2) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah secara langsung pada latihan atau praktik penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulis. Praktik penggunaan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa, karena pengajaran yang hanya difokuskan pada pemahaman kaidah bahasa tidak akan berpengaruh pada performansi aktual baik dalam berbicara maupun menulis..
(3) Aktivitas yang dilaksanakan dapat membina dan mengarahkan kemampuan siswa dalam memilih dan menata bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu tindak komunikasi. Faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi siapa partisipan wicara, untuk tujuan apa, dalam situasi bagaimana, dalam konteks apa, dengan jalur dan media mana, dan dalam peristiwa apa.
(4) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah pada kreativitas penggunaan bahasa bukan hanya penggunaan bahasa yang bersifat mekanik. Aktivitas yang dilaksanakan harus benar-benar memberikan kesempatan kepada pelajar untuk menggunakan bahasa secara kreatif dengan jalan bebas memilih apa yang akan diungkapkan dan bagaimana mengungkapkannya. Latihan-latihan yang bersifat mekanik harus diminimalkan karena tidak memberikan kesempatan pada pelajar untuk berkreasi dalam memilih dan menata bahasanya sendiri.

Agar aktivitas interaksi belajar-mengajar sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat dicapai, setiap guru bahasa harus dapat berperan sebagai individu yang mampu memberikan bimbingan, memantau kegiatan siswa, menciptakan latihan-latihan kreatif, dan dalam kesempatan yang lain dapat bertindak sebagai teman komunikasi bersama-sama dengan siswa. Interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar berasal dari dan terletak pada siswa. Siswa harus mendapat kesempatan dalam interaksi komunikatif yang bermakna. Dalam hal ini siswa berperan sebagai subjek didik, sedangkan guru bertindak sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan, dan pembimbing siswa dalam berlatih berkomunikasi secara wajar.
Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam kegiatan belajar-mengajar harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan memotivasi belajar siswa. Motivasi yang tinggi akan dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini terjadi karena dengan motivasi yang tinggi, siswa terdorong untuk mengetahui, kemudian melakukan sesuatu untuk dapat menerima apa yang ingin diketahuinya tersebut. Peningkatan motivasi siswa dalam belajar dapat dilihat pada adanya keterlibatan secara aktif siswa terhadap hal-hal yang dipelajarinya. Sebaliknya, pengajaran yang kurang sesuai dengan kebutuhan siswa akan sangat membosankan, sehingga motivasi belajar siswa menjadi rendah.
Sehubungan dengan uraian di atas, berikut ini ditawarkan dua model pembelajaran bahasa, yakni model pembelajaran lingkungan dan model pembelajaran kooperatif. Kedua model tersebut disajikan secara singkat berikut ini.


B. Model Pembelajaran Lingkungan
1. Mengapa Harus Sekolah?
Hup …kena! Hup … hup … hup, kena lagi!
Alin riang gembira berlompatan mengejar anai-anai yang beterbangan di seputar kepalanya. Jemarinya yang mungil berseliweran menggapai laron-laron itu. Beberapa kali berhasil ditangkapnya lalu binatang itu dimasukkan di kantong plastik. Sebenarnya beberapa kali juga dia gagal menangkap laron-laron itu. Meski demikian, Alin tak putus asa karena dia merasa di tempat inilah kenikmatan berburu ditemukannya.
Hujan semalaman deras sekali. Pagi itu pasti banyak anai-anai bertebaran. Bagi Alin ini kesempatan yang menakjubkan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Anak itu tak bisa diam, ia langsung terjun menikmati keadaan. “Yaa.. berhasil, kena lagi!” begitu teriaknya setiap dia menuai prestasi.
Sayang matahari seperti diburu waktu. Tak terasa hari merambat siang. Dari dalam rumah terdengar lengking suara mama memecah pagi. “ Aliin… ayo mandi, sekolah! Jemputan sebentar lagi datang!” Sejenak Alin menghentikan aktivitasnya. Akan tetapi, berburu laron begitu mengasyikkan. Hup…hup…hup dia pun bergerak kembali. Anak itu baru mau berhenti ketika mamanya sudah mengulang teriakan beberapa kali, tentu dengan tanda seru yang besar.
Berantakan sudah semuanya. Kegembiraan dunia anak harus terputus. Pagi ini Alin musti berangkat ke sekolah. Harus duduk tertib menyimak guru mengajar, mengerjakan tugas-tugas yang tidak disenanginya. Ia harus berangkat menuju alam dewasa. Seperti kita. Memasuki dua budaya yang bersistem ketat dan mekanistis. Kalau sudah begitu Alin jadi teralienasi. Ia kerap merasa terperangkap ke dalam dunia orang dewasa yang asing dan menjemukan. “Mengapa harus sekolah Ma/ Untuk apa sekolah?” pikir Alin sambil ngeloyor ke kamar mandi. Hampir pertanyaan itu dilontarkan, tetapi ditelannya kembali, sebab hal itu sudah pernah ditanyakan dan dia sudah hafal jawaban mamanya, “Supaya kamu jadi anak pintar?”
Mengapa harus sekolah? Untuk apa sekolah? Mengapa ada jingle pendek di televisi, Ayoooo sekolah…?
Pertanyaan seperti itu dianggap sebagai pertanyaan naif seorang bocah itu bernama Alin. Namun, pertanyaan smacam itu perlu dipandang sebagai pertanyaan yang mendasar yang seharusnya mengusik pakar pendidikan, guru, dan orang tua yang pedua pendidikan. Apalagi di saat seperti sekarang ini, tatkala efektivitas pendidikan dipertanyakan, ketika sejumlah lulusan sekolah formal tidak mampu menjawab sederetan masalah konkret dalam kehidupan nyata.
Sharon Lechter pernah gelagapan ketika ditanya oleh anaknya yang sudah SMA. “Mengapa saya harus memberikan waktu untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak pernah saya pergunakan dalam kehidupan nyata sehari-hari?” Supaya kamu mendapat nilai bagus sehingga kamu bisa masuk perguruan tinggi yang favorit. Akan tetapi, si anak menukas: “daripada berjuang untuk masuk perguruan tinggi, saya akan berjuang untuk menjadi orang kaya.”
Berdasarkan contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekolah tampaknya telah mereduksi banyak aspek. Potensi anak yang mestinya beragam dan beperspektif luas, di sekolah direduksi menjadi kecerdasan intelektual saja. Anak menjadi tercerabut dari kehidupan nyatanya, sebagaimana kasus yang dialami oleh Alin.
Betulkah Alin hanya bermain-main, ketika dia mengejar anai-anai? Sia-siakah kegiatan yang membahagiakan hatinya itu?
Sangat mungkin dalam pikiran Alin berlompatan juga sekian pertanyaan seiring dengan gerak lincah kakinya yang melompat-lompat itu. Pertanyaan-pertanyaan itu, misalnya, Mengapa laron keluar setelah hujan semalaman? Mengapa umur laron begitu pendek? Mengapa sayapnya mudah rontok? Sungguh ini merupakan pertanyaan amat ilmiah, bahan kajian dan materi bidang sain. Mungkin sekali, Alin juga akan mengamati bentuk laron ukuran laron, dari mana laron itu berasal, dan masih banyak lagi sejumlah pertanyaan lainnya.
Di tempat ia berlari-lari, ia juga merasakan udara di alam bebas itu, melihat berbagai jenis tumbuhan, dan mungkin sekali benda-benada lain yang menarik hatinya. Ketika ia memilih benda yang sesuai dengan pilihannya, tentu ia memiliki alasan yang kuat mengapa ia memilih benda tersebut. Mengapa ia memilih plastik untuk tempat laron? Mengapa ia tidak membungkusnya dengan daun?
Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya merupakan pertanyaan yang bagus dan dapat dijadikan bahan pembelajaran bahasa bagi siswa. Untuk mencapai suatu kompetensi dasar tertentu, misalnya menulis deskriptif, melaporkan hasil pengamatan, menceritakan objek yang menarik, dan sebagainya, siswa ditugasi untuk melakukan pengamatan terhadap suatu objek yang ada di lingkungan sekolah. Hasil pengamatan tersebut dijadikan untuk menjawab atau mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya. Teknik pembelajaran yang demikian inilah yang ditawarkan dalam pembelajaran bahasa dengan Model Pembelajaran Lingkungan (MPL).

2. Model MPL
MPL dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari yang sederhana tidak menyita waktu sampai yang paling kompleks yang memerlukan waktu berhari-hari. Hal ini bergantung pada tujuan pembelajaran dan kondisi setempat.

a. MPL Samping Waktu
MPL ini dilakukan di luar jam belajar siswa. Ketika siswa berangkat ke sekolah atau perjalanan ke mana pun siswa diminta mengamati suatu objek atau suatu peristiwa yang menarik perhatiannya. Kemudian di sekolah dia diminta memaparkannya secara lisan atau tertulis. Guru dapat menentukan apakah deskripsi tersebut seragam bentuknya (semua menulis paragraf pendek) atau bebas, artinya siswa bebas memilih bentuk ungkapannya (eksposisi, narasi, atau mungkin dalam bentuk puisi). Sebaiknya, pengerjaan tugas tersebut berpasangan atau berkelompok sehingga siswa dapat berbagi pengalaman.
Kelebihan bentuk MPL ini ialah tidak meyita jam pelajaran, guru tidak kehilangan waktu. Kelemahannya, kegiatan pengamatan siswa kurang bisa dipantau.

b. MPL Singkat Waktu
Siswa dibagi dalam beberapa kelompok, yang setiap kelompok terdiri atas 4-5 siswa. Setiap kelompok ditugasi keluar kelas dalam waktu 10—15 menit untuk mengamati objek berbeda-beda yang ada di lingkungan sekolah dan mencatatnya. Hal yang perlu diamati, misalnya, bentuk objek yang diamati, warnanya, ukurannya, bentuknya, bahan asal objek tersebut, dan sebagainya.
Setelah selesai, mereka kembali ke kelas dan menyempurnakan catatan hasil pengamatan mereka. Setiap kelompok berdiskusi menyusun laporan tertulis hasil pengamatannya, kemudian melaporkannya secara lisan di depan kelas. Sebagai penutup setiap kelompok menulis paragraf deskriptif berdasarkan hasil pengamatan dan menempelkan hasilnya di papan tulis.

c. MPL Ekskursi Sehari
MPL ekskursi sehari adalah kegiatan belajar dengan melakukan kunjungan ke suatu objek tertentu atau tempat tertentu dalam waktu satu hari. Para siswa pergi bersama-sama dengan bimbingan guru ke suatu tempat yang telah diprogramkan sebelumnya. Pilihan tempat kunjungan tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran atau diarahkan pada pencapaian kompetensi dasar tertentu.
Sebelum kegiatan ekskursi dilakukan guru telah menentukan beberapa kompetensi dasar yang akan dicapai dalam kegiatan itu. Setiap siswa harus mengambil satu kompetensi dasar atau lebih yang menjadi garapannya ketika ia melakukan ekskursi tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memfokuskan kegiatannya sesuai dengan tugas yang menjadi pilihannya.
Setelah ekskursi selesai, siswa bekerja dalam kelompok yang bidang garapannya sejenis. Kerja siswa tersebut dapat menggunakan waktu di kelas, atau lebih baik jika siswa mengerjakannya di luar jam pelajaran sekolah. Di kelas, siswa tinggal melaporkan hasil kerja kelompok dan mendiskusikannya bersama-sama di kelas. Berdasarkan hasil diskusi tersebut, siswa menyempurnakan laporannya dan memamerkan hasil kerja tersebut dengan menempelkannya di kertas manila untuk di pajang di dinding kelas atau tempat yang telah ditentukan.

d. MPL Proyek
MPL Proyek merupakan model pembelajaran terprogram yang memerlukan waktu agak panjang. Dalam proyek tersebut, diperlukan waktu agak lama karena siswa terlibat dalam kegiatan yang cukup kompleks. Siswa tidak sekedar melakukan pengamatan, tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan lainnya sebagai konsekuensi dari hasil pengamatannya itu.
Dalam proyek ini, mungkin sekali siswa menemukan berbagai persoalan dan berusaha untuk mencari jalan pemecahannya. Berdasarkan temuannya itu, siswa diminta untuk melakukan kegiatan seminar untuk menyampaikan berbagai problema yang dihadapi dan upaya pemecahannya. Karena itu, MPL ini dalam penggarapannya dapat dilakukan melalui proses konsultasi dan tutorial, yang selanjutnya dikembangkan dalam proyek seminar hasil pengamatan.

3. Perencanaan dan Pelaksanaan MPL
• Guru perlu menjelaskan kepada siswa apa dan mengapa MPL penting untuk dilakukan.
• Guru harus menentukan kompetensi dasar yang akan dicapai melalui MPL.
• Guru harus menentukan objek pengamatan sesuai dengan kompetensi dasar yang telah ditentukan.
• Guru harus menyiapkan format-format pengamatan sesuai dengan objek yang akan diamati.
• Guru mengajari siswa cara menentukan objek pengamatan yang sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai.
• Guru harus memberikan pengalaman belajar sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai.
• Guru membantu siswa dalam presentasi hasil kerja mereka, misalnya, menyiapkan peralatan/ATK.
• Guru harus mempersiapkan format penilaian.
• Guru memberi waktu kepada siswa untuk merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan.

4. Aku Ingin Cerita Lagi
Aduuhh Mak ….. Dicecar Setumpuk PR!
Pemberian PR yang berlebihan pada anak bukan mustahil dapat berdampak buruk melebihi dari yang diperkirakan. Bila dikaitkan dengan era informasi yang semakin santer, terlalu banyak PR dapat mengurangi peluang anak anak untuk membaca pengetahuan lain, dapat mengurangi jatah anak untuk belajar keterampilan hidup, misalnya, bermain, mencari ikan, bermain layang-layang, dan sebagainya.
Ada alkisah anak seorang teman yang belajar di Australia. Suatu hari anak itu mau ke perpustakaan. Rupanya dia mendapat PR dari gurunya.
“You dapat tugas apa?” Tanya ayah.
“Saya mau bikin esai,” jawab anaknya dengan nada gembira.
“Tentang apa?”
“Saya memilih topik bulan.”
“Lalu?”
“Saya mau ke perpustakaan, mau cari buku yang menulis tentang bulan,” katanya kemudian berpamitan.
“Bagus, selamat belajar!”
Anak itu bergegas menuju perpustakaan, seperti ikan kehausan ia mengumpulkan buku-buku dan artikel tentang bulan.
Nah, terasa bukan perbedaannya? Agaknya, yang terpenting bukan seberapa banyak PR yang harus diberikan, atau tidak perlu memperdebatkan apakah PR itu perlu atau tidak. Namun, apakah tugas yang diberikan itu merangsang gairah belajar anak atau tidak, atau justru membuat anak apriori dengan kegiatan belajar.
Sudah saatnya kita mencari terobosan baru untuk membantu anak belajar lebih pintar, bukan dengan belajar yang lebih lama.

C. Model Pembelajaran Kooperatif

1. Potret Buram Sekolah Kita
Ssstt…? Jangan bekerja sama!
Ketika seorang guru menjaga ulangan, selalu terdengar kalimat instruktif: “Ssstt…jangan ramai. Kerjakan sendiri-sendiri. Awas kalau ketahuan nyontek saya sobek pekerjaannya. Juga jangan coba-coba kerja sama.” Siswa pun jadi mungkret.
Sejak kecil anak-anak sekolah dididik mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri. Anak menjadi terbiasa menulis jawaban sambil menelungkupi bukunya erat-erat, khawatir dicontek oleh tetangga sebangkunya.
Untuk kepentingan ini kita bisa bersembunyi pada konsep dasar pendidikan yang kuat, yaitu ingin menanamkan kemandirian pada anak. Anak harus mampu mandiri, tidak bergantung pada siapa saja, sehingga ini akan berguna bagi kehidupan anak nantinya. Tentu, pemikiran ini adalah pemikiran yang tidak keliru. Hanya masalahnya, kalau kita selalu menekankan pada kemandirian, dengan mangabaikan pada pentingnya melatih kerja sama, kini kita menuai hasilnya. Konsep gotong royong hanya dikenal ketika kita kerja bakti membersihkan selokan atau siskamling. Konsep jamaah hanya dikenal ketika kita sholat. Begitu salam, keluar masjid atau mushala kita mencari sandal sendiri-sendiri dan pulang menelusuri jalan masing-masing.
Kalau kita punya waktu, sesekali kita duduk bersama dengan anak-anak kita asyik nonton film kartun. Dalam cerita petualang berjudul apa pun segera terasa kental aspek kerja samanya. Ini merupakan pergeseran dari film-film sebelumnya yang mengandalkan tokoh tunggal super hero, seperti Rambo, Popeye, Woody, dan sebagainya. Dalam kartun sekarang tokohnya rata-rata 5 orang. Ketika menghadapi monster yang jahat dan tangguh, mereka segera memadukan kekuatan. “Kita bergabung!” bergaung menghadapi bersama-sama. Tengok saja: Power Rangers, Timeforce Rangers, Ultra Man 3, Kura-kura Ninja, Pakemon, dan sebagainya.
Era mendatang adalah masa yang menuntut kerja sama untuk pemecahan masalah. Budaya masa depan adalah budaya jaringan. Pada era global, kerja tim lebih diperlukan daripada kerja individu. Model-model jaringan (network), kerja sama horisontal, sinergi dengan banyak pihak dengan prinsip saling menguntungkan lebih disukai daripada pendekatan sentralistik. Karena itu, yang cocok dikembangkan adalah budaya jaringan.
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, untuk mencapai kompetensi dasar apa pun akan lebih mudah jika dilakukan secara gotong royong. Siswa akan lebih mudah dan lebih ringan dalam menyusun suatu laporan jika mereka bekerja secara berkelompok. Siswa akan memiliki wawasan yang lebih tajam dalam mengkritik suatu pendapat jika mereka mendapatkan sumbangan pemikiran dari semua anggota kelompok. Tulisan deskriptif akan lebih lengkap paparannya jika setiap anggota kelompok menyumbangkan hasil pengamatannya yang beragam. Naskah pidato akan lebih kaya isinya jika dikerjakan dan dipikirkan bersama oleh anggota kelompok. Dalam menemukan nilai-nilai suatu karya sastra akan lebih cepat dan lebih mudah jika berbagi tugas pada setiap anggota. Hampir semua kompetnsi dasar dalam kurikulum dapat dicapai dengan lebih mudah melalui kerja kelompok, dengan prinsip setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Berlandaskan pada prinsip inilah, dalam makalah ini diperkenalkan suatu model pembelajaran dengan cara gotong royong saling menguntungkan, yakni Model Pembelajaran Kooperatif (MPK).

2. Lima Unsur MPK
Roger dan Johnson menjelaskan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Ada lima unsur model yang harus diterapkan untuk bisa dikatakan model pembelajaran yang kooperatif. Kelima unsur tersebut adalah sebagai berikut.
• Saling Ketergantungan Positif: semua anggota kelompok bekerja secara sinergis dalam mengembangkan kelompoknya. Dalam hal ini, guru harus memberikan tugas yang berbeda-beda untuk setiap anggota kelompok, sehingga setiap anggota kelompok bergantung dan bertanggung jawab terhadap anggota yang lainnya dalam kelompok itu. Termasuk untuk menciptakan saling ketergantungan ini adalah cara penilaian yang unik. Setiap siswa selain mendapat nilai individual juga mendapat nilai dari kelompoknya. Besarnya nilai kelompok bergantung pada sumbangan yang diberikan oleh setiap individu, yakni selisih nilai tes dari nilai rata-rata yang diperoleh individu.
• Tanggung Jawab Perseorangan: dengan tugas yang berbeda-beda, setiap anggota kelompok bertanggung jawab menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya untuk dilaporkan kepada teman-teman sekelompoknya.
• Tatap Muka: setiap anggota kelompok berkesempatan untuk menyampaikan hasil kerjanya.
• Kemunikasi Antaranggota: Komunikasi dalam kelompok harus merata pada setiap individu anggota kelompok, tidak boleh didominasi oleh siswa tertentu.
• Evaluasi Proses Kelompok: untuk melakukan refleksi apakah kerja kelompoknya sudah baik atau perlu ada perbaikan. Refleksi ini tidak harus dilakukan pada setiap kerja kelompok, tapi dapat dilakukan secara berjangka.

3. Pengelolaan Kelas MPK
• Pengelompokan: dalam hal ini pengelompokan siswa dilakukan secara heterogen, bukan homogen atas dasar kesetaraan kemampuan (ability grouping). Hal ini didasarkan pada satu prinsip bahwa kelas adalah miniatur masyarakat.
• Semangat Gotong Royong: hal ini bisa dibangun jika setiap anggota kelompok menyadari kesamaan yang mereka miliki. Dengan penyadaran ini, mereka akan lebih saling mengenal temannya. Cara lain yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan semangat gotong royong ini adalah pemberian identitas kelompok oleh kelompok yang bersangkutan, serta penciptaan sapaan dan sorak kelompok.
• Penataan Ruang Kelas: hal ini bisa dilakukan dengan cara penataan fasilitas yang ada di dalam kelas mempertimbangkan kemudahan untuk melakukan mobilitas dalam kelompok.

4. Teknik MPK
Ada beberapa teknik yang dapat dikembangkan untuk model pembelajaran kooperatif. Dalam kegiatan pembelajaran bahasa, beberapa teknik tersebut dikombinasikan untuk memberikan pengalaman belajar kepada para siswa, sehingga kegiatan pembelajaran di kelas lebih variatif. Teknik pembelajaran yang dimaksudkan adalah sebagai berikut.
a. Mencari Pasangan
• Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi konsep atau topik tertentu (cocok untuk reviu).
• Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
• Siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (CERITA cocok dengan TOKOH UTAMA).
• Siswa dapat juga bergabung dengan dua, tiga, atau lebih siswa lain yang memiliki kartu yang sama.
b. Bertukar Pasangan
• Siswa telah memiliki pasangan masing-masing.
• Guru memberikan tugas untuk dikerjakan oleh setiap pasangan.
• Setelah selesai, setiap pasangan bergabung dengan pasangan yang lain.
• Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan.
• Setiap pasangan yang baru ini menyempurnakan jawabannya.
• Temuan jawaban dari pertukaran pasangan ini dibagikan kepada pasangan semula.
c. Berpikir – Berpasangan – Berempat
• Guru membagi siswa kelompok berempat dan memberi tugas untuk semua kelompok.
• Siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri-sendiri.
• Siswa berpasangan dengan satu rekan dalam kelompoknya dan berdiskusi dengan pasangannya.
• Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat.
d. Berkirim Salam dan Soal
• Guru membagi kelompok berempat.
• Guru menugasi kelompok menyusun pertanyaan yang akan dikirimkan ke kelompok lain (tugas guru mengawasi dan membantu memilihkan soal yang cocok).
• Salah satu anggota kelompok mengirimkan satu utusan yang akan menyampaikan salam dan soal (salam dapat berupa sorak kelompok).
• Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain.
• Setelah selesai jawaban setiap kelompok dicocokkan dengan jawaban pembuat soal.
e. Dua Tinggal Dua Tamu
• Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat.
• Stelah selesai, dua orang keluar untuk bertamu ke kedua kelompok yang lain.
• Dua orang yang tinggal bertugas membagikan hasil kerja kelompok ke tamu mereka.
• Tamu kembali ke kelompoknya semula dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
• Kelompok mencocokkan hasil kerja mereka.

f. Keliling Kelompok
• Setiap anggota kelompok menyampaikan pandangannya.
• Siswa berikutnya juga memberikan kontribusinya.
• Demikian selanjutnya. Giliran bicara bisa mengikuti arah jarum jam.
g. Keliling Kelas
• Siswa bekerja sama dalam kelompok.
• Setiap kelompok memamerka hasil kerja dengan memajangnya.
• Setiap kelompok keliling kelas mengamati dan memberikan komentar hasil kerja kelompok lain.
h. Lingkaran Kecil Lingkaran Besar
• Siswa separoh kelas membentuk lingkaran kecil, dengan menghadap ke luar lingkaran.
• Siswa lainnya membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam sehingga berpasangan dengan siswa di lingkaran kecil.
• Siswa yang berada di lingkaran kecil mulai berbagi informasi kepada pasangannya di lingkaran besar.
• Kemudian, siswa yang berada di lingkaran besar berputar, siswa yang di lingkaran kecil diam, sehingga terjadilah pergantian pasangan.
• Sekarang, siswa yang berada di lingkaran besar ganti membagikan informasi.

5. Cerita Penting
Ken Arok Tewas Tiga Kali
Ini sebuah teka-teki, “Berapa kali Ken Arok Tewas tertusuk keris?” Satu kali! Salah! Jawabnya bukan satu kali, tapi tiga kali. Lho kok? Iya, Ken Arok tewas waktu di SD, lalu tewas lagi di SMP, kemudian terbunuh lagi di SMA.
Apa maksud dari teka-teka itu?
Apakah kita dalam membelajarkan bahasa juga demikian?
Mudah-mudah itu, sekedar joke!

Daftar Rujukan

Depdiknas. 2004. Landasan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. Jakarta: Dirjen
Dikdasmen.
Larsen-Freeman, Diane. 1986. Techniques and Priciples in Language Teaching. Oxford
University Press.
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.
Oka, Johana D. 2003. Neighborhood sebagai Sumber Pembelajaran Bahasa Inggris.
Jakarta: Depdiknas.
Rivers, Wilga M. 1987. Interactive Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.