THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Kamis, 07 Agustus 2008

KOSAKATA LAGU DAERAH BANYUWANGI Kajian Etnolinguistik Etnik Using

Abstract: The Banyuwangi folksongs, which from theoretical perspective are an expression of the culture of Using people. The folksongs are cultural product of the Using ethnic, which is a result of the interaction of the Using people with their natural and social-cultural surroundings. As a cultural product, the utterance of this folksongs has distinct characteristics. The variety of vocabulary in an utterance reflects the dynamics on communication and social life of its speakers. The differences of cultural content in the vocabulary of the utterance are caused by the differences in the strategy of adaptation and perception pattern of the people towards the natural and social-cultural environment. For a language which does not have hierarchy of register, the utterance style of that language is used by its speakers as politeness strategy to distinguish the social classes in speech.
Keywords: culture, ethnic, utterance

Pendahuluan
Sebutan etnik Using mengacu pada para individu yang menamakan diri sebagai suku asli Banyuwangi dan secara emosional terikat dan menjunjung tinggi budaya Using. Mereka adalah sekelompok orang yang berada dalam satu kesatuan sosial yang memiliki bahasa, tradisi budaya, dan sejarah (Holmes, 2001:175) yang membedakannya dengan etnik-etnik lainnya. Sebagai satu kesatuan sosial, mereka memiliki kesamaan norma, nilai, simbol, kepercayaan, dan praktik budaya (Barker, 2004:201) dan secara bersama-sama menempati wilayah tertentu sehingga membentuk masyarakat yang disebut masyarakat Using.
Masyarakat Using dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi dengan lingkungannya dengan menggunakan sistem adat yang berlangsung secara kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama dalam kesatuan sosialnya (Koentjaraningrat, 1990). Mereka menghadapi tantangan dan rangsangan dari lingkungan, termasuk tantangan dan rangsangan dari sumber-sumber daya alam. Dalam menjawab tantangan dan rangsangan ini, mereka secara individual ataupun kolektif mengembangkan budaya dan memanfaat-kannya sebagai pedoman beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu wujud pengembangan budaya tersebut adalah penciptaan lagu-lagu daerah Banyuwangi.
Sebagai ekspresi budaya, lagu daerah Banyuwangi memiliki fungsi sebagai lambang identitas budaya masyarakat Using. Lagu daerah Banyuwangi dipandang identik dengan sifat dan perilaku masyarakat tutur Using. Bentuk, corak, dan ungkapan dalam teks lagu dianggap sebagai cerminan budaya masyarakat pemiliknya. Kenyataan tersebut sejalan dengan pernyataan Liliweri (2003:68—71) yang menjelaskan bahwa identitas selalu dikenakan atau dihubungkan dengan perihal tertentu.
Sebagai identitas budaya, perkembangan produk lagu selalu sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat penuturnya. Kodiran (1998) menjelaskan bahwa corak dan ungkapan seni, termasuk lagu, mencerminkan corak budaya warga masyarakat yang bersangkutan. Perkembangan budaya masyarakat berdampak pada perubahan bentuk teks lagu yang muncul dari tahun ke tahun. Karena itu, produk teks lagu daerah Banyuwangi yang berkembang pada tahun 70-an dan sebelumnya berbeda dengan produk teks lagu daerah Banyuwangi yang berkembang setelah tahun 80-an.
Penggunaan bahasa dalam teks lagu terkait erat dengan struktur konteks yang membangun teks itu. Hymes (1974) menjelaskan struktur konteks yang menentukan tuturan meliputi latar, partisipan, tujuan, kunci, topik, saluran, ragam, dan norma. Suatu ragam dapat terjadi karena tujuan tertentu dalam tempat tertentu dengan partisipan tertentu (Coulthard, 1979). Dengan demikian, penggunaan bahasa dalam teks lagu berkaitan erat dengan latar penciptaan teks, ciri masyarakat yang menjadi partisipan, tujuan penuturan, pesan-pesan yang dituturkan, dan norma-norma budaya yang dianut. Perbedaan konteks tutur tersebut berimplikasi pada perbedaan pilihan bahasa yang dikemukakan dalam teks lagu. Bertolak dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan memerikan budaya etnik Using melalui kajian teks, khusunya kajian kosakata dalam teks lagu daerah Banyuwangi. Karena itu, dalam analisis data difokuskan pada analisis kosakata khusus yang ada dalam teks lagu dan dipandang merupakan cerminan budaya etnik Using sebagai penuturnya. Kosakata khusus yang dimaksud meliputi (a) kosakata Using arkhais, (b) kosakata serapan, dan (c) kosakata khas Using.
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian etnolinguistik, yakni mengkaji budaya etnik Using melalui teks lagu daerah Banyuwangi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan ancangan hermeneutika. Data penelitian berupa teks lagu-lagu daerah Banyuwangi, informasi tentang tradisi budaya dan fakta keseharian masyarakat Using, dan informasi tentang bahasa Using dan lagu-lagu daerah Banyuwangi. Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen, wawancara, dan observa-si. Dalam pengumpulan data, peneliti sebagai instrumen kunci dilengkapi de-ngan panduan observasi, panduan wawancara, panduan studi dokumen, dan alat perekam elektronik. Ketika mengumpulkan data, peneliti melakukan seleksi data, identifikasi data, klasifikasi data, dan kategorisasi data yang didasarkan pada pandangan emik. Analisis data dilakukan dengan mengikuti model hermeneutika dalam pandangan Ricoeur. Keempat aspek penelitian dipahami secara cermat melalui level semantik, level refleksif, dan level eksistensial. Untuk memverifikasi temuan penelitian, dilakukan triangulasi temuan kepada pakar bahasa Using dan budayawan Using.
Hasil Penelitian
Paparan hasil penelitian ini didasarkan pada fokus penelitian yang meliputi kajian tentang (a) kosakata Using arkhais, (b) kosakata serapan, dan (c) kosakata khas Using yang terdapat dalam teks lagu daerah Banyuwangi. Hasil kajian terhadap ketiga fokus penelitian tersebut dipaparkan berikut ini.
1. Kosakata Arkhais dalam Teks Lagu Daerah Banyuwangi
Dalam teks lagu-lagu daerah Banyuwangi, terdapat sejumlah kosakata bahasa Using yang sudah arkhais. Penggunaan kosakata arkhais dalam teks lagu tersebut dimaksudkan untuk menuturkan konsep-konsep tertentu yang memerlukan kata-kata khusus. Kata-kata Using yang ada dalam pemakaian sehari-hari dipandang kurang tepat jika digunakan untuk menuturkan konsep yang dimaksud. Dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi, kosakata arkhais ini banyak digunakan oleh penutur lagu-lagu lama.
Dalam teks lagu Ulan Andhung-andhung, penutur lagu menyampaikan tuturan yang berbunyi /Ulan andhung-andhung/.../Sunare candra dewi, alak emas/. Tuturan itu dapat diartikan bulan sedang bersinar terang-benderang sehingga kelihatan indah sekali. Kata andhung-andhung dan candra dewi dalam tuturan tersebut termasuk kata arkhais. Kata andhung-andhung ‘terang benderang’ digunakan untuk mengungkapkan sifat bulan dan kata candra dewi untuk menyebut nama lain dari bulan. Dalam percakapan sehari-hari di kalangan masyarakat Using, kata andhung-andhung dan kata candra dewi tidak digunakan lagi. Kata-kata itu diganti dengan kata padhang ‘terang benderang’ dan kata rembulan ‘bulan’. Namun, kata andhung-andhung dalam teks lagu itu tidak tepat jika diganti dengan kata padhang, sebab yang dimaksud andhung-andhung tidak sekadar memiliki arti tidak gelap, tetapi juga menggambarkan kesempurnaan sinar bulan purnama. Demikian juga, kata candra dewi tidak tepat jika diganti rembulan karena penggunaan kata itu dimaksudkan untuk menunjukkan pemujaaan terhadap sifat kesempuraan bulan yang terang benderang.
Dalam teks lagu Mbok Irat, penutur lagu menggunakan kata-kata montrang-mantring, diemasi, dan tepis wiring dalam tuturannya yang berbunyi /Mbok irat montrang-mantring/ Diemasi nggolet pangan bontang-banting/.../ Nong desa noring tepis wiring/. Dalam percakapan sehari-hari di kalangan masyarakat Using, kata montrang-mantring diganti dengan kata montang-manting yang memiliki arti sama, yakni ke sana kemari, kata diemasi diganti dengan kata dibelani atau diaboti yang artinya adalah diusahakan dengan sungguh-sungguh, dan kata tepis wiring diganti dengan kata ndesa ‘desa’. Dari kata-kata tersebut, kata tepis wiring memiliki nuasa makna yang berbeda dengan kata ndesa karena tepis wiring tidak hanya menyebut desa dari segi geografis, tetapi juga mengacu pada cerminan tradisi dan pandangan hidup masyarakat yang berwatak kedesaan.
Dalam teks lagu yang berjudul Pahlawan Blambangan, penutur lagu menyebutkan kata gromyoh dan kentelan dalam tuturan berbunyi /Kadhung ngomong gromyoh nyenengaken/ Mula rakyate akeh hang pada kentelan. Dalam percakapan sehari-hari, kedua kata tersebut digantikan pemakaiannya oleh kata-kata serapan dari kata bahasa Indonesia, yakni kata gromyoh sering diganti dengan kata supel atau kata ramah, sedangkan kata kentelan dalam percakapan diganti dengan kata tertarik. Sebetulnya, sifat yang diungkapkan dengan kata gromyoh merupakan sifat gabungan dari supel dan ramah. Karena itu, kata gromyoh tidak lengkap maknanya jika hanya digantikan dengan kata supel arah ramah. Demikian juga, kata kentelan tidak tepat jika diganti oleh kata tertarik karena kata kentelan memiliki makna tertarik, kagum, dan bangga.
Melalui teks lagu Lancing Tanggung, penutur lagu menyebutkan kata-kata samar wulu, midang, dan sisik melik. Kata-kata tersebut terdapat dalam konteks tuturan yang berbunyi /Wayah samar wulu mangu-mangu/ Lancing tanggung midang ring lelurung/ Ambi sisik melik kembange ati/. Dalam percakapan sehari-hari, kata-kata tersebut digantikan oleh kata-kata baru, yakni soren, mlaku-mlaku, dan bukti. Namun, jika dikaji secara lebih cermat, kehadiran kata-kata tersebut belum mampu mengungkapkan makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh tuturan lagu. Kata samar wulu tidak hanya mengacu pada waktu sore hari biasa, tetapi sore hari dengan ciri khusus, yakni sore menjelang magrib dengan langit temaram berwarna kekuning-kuningan. Kata midang tidak hanya bermakna berjalan-jalan biasa, tetapi berjalan-jalan yang tanpa tujuan atau tanpa adanya kesengajaan. Kata sisik-melik, meskipun sama artinya dengan kata bukti, memiliki makna yang lebih lengkap, yaitu suatu indikasi untuk mengetahui suatu bukti, atau tanda-tanda menuju suatu bukti.
Kata-kata arkhais tersebut juga digunakan oleh penutur lagu dalam teks lagu yang berjudul Cengkir Gadhing, Mata Walangen, dan Rondho Kembang. Dalam lagu Cengkir Gadhing, digunakan kata direnggo, yang dalam percakapan sehari-hari digantikan dengan kata dihiasi. Dalam lagu Mata Walangen, terdapat kata dijangka dan mata walangen. Dalam komunikasi sehari-hari, kata dijangka digantikan oleh kata dikarepaken ‘diinginkan, diharapkan, atau dicita-citakan’. Kata mata walangen dalam percakapan sehari-hari diganti dengan kata ngelemun ‘melamun’. Sementara, dalam lagu Rondho Kembang, terdapat kata latu dan warang yang dalam percakapan sehari-hari digantikan oleh kata wawa ‘bara api’ dan lara ‘sakit’.
Kata-kata arkhais seperti telah disebutkan di atas hanya digunakan oleh penutur lagu dalam teks lagu lama. Dalam teks lagu baru, kata-kata arkhais tidak digunakan lagi. Temuan ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kosakata dalam teks lagu-lagu lama dengan kosakata dalam teks lagu-lagu baru. Perbedaan tersebut merupakan cerminan perbedaan budaya antara generasi lama dengan generasi muda, khususnya berkaitan dengan budaya komunikasi mereka. Mereka menggunakan bentuk tuturan yang berbeda, terutama dalam kaitannya dengan pilihan kosakata yang dituturkannya.
Dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat Using, dapat diamati bahwa minat generasi muda terhadap teks lagu-lagu lama sangat rendah, bahkan banyak di antara mereka yang sudah tidak mengenalnya. Lagu-lagu lama pada saat ini hanya dikenali dan diminati oleh orang-orang tua, terutama mereka yang tinggal di desa-desa. Kenyataan ini dapat dilihat pada peristiwa budaya di masyarakat, yakni ketika ada pertunjukan seni, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu baru yang digemari oleh anak-anak muda. Sementara, lagu-lagu lama kebanyakan hanya dapat dinikmati kembali melalui lagu-lagu rekaman yang tersedia.
Dalam satu kesatuan sosial di masyarakat Using, terdapat sejumlah komunitas yang memiliki kebutuhan dan kepentingannya masing-masing. Kebutuhan dan kepentingan komunitas generasi muda berbeda dengan kebutuhan dan kepentingan komunitas generasi tua, komunitas pemiliki modal berbeda dengan komunitas orang-orang miskin, komunitas pejabat berbeda dengan komunitas rakyat kecil, dan seterusnya (Jones,1999:124—127). Kebutuhan dan kepentingan setiap komunitas ini menyebabkan munculnya beragam subsistem budaya di dalam masyarakat tersebut. Setiap komunitas, menurut Porter dan Samovar (2005), memiliki subsistem budaya yang berbeda dengan subsistem budaya komunitas lainnya dalam satu sistem budaya masyarakat yang melingkupinya.
Perbedaan ciri komunitas tecermin dalam perbedaan penggunaan kosakata arkhais dalam teks lagu. Ragam kosakata Using arkhais banyak ditemukan dalam teks lagu-lagu lama, yakni lagu-lagu daerah Banyuwangi yang diciptakan pada tahun 1970-an dan sebelumnya. Dalam lagu-lagu baru, yakni lagu yang diciptakan setelah tahun 1980-an, tidak ditemukan kata-kata arkhais. Penggunaan kosakata arkhais ini dimaksudkan untuk menuturkan konsep-konsep tertentu yang memerlukan kata-kata khusus karena kata-kata Using yang ada dalam pemakaian sehari-hari kurang tepat jika digunakan untuk menuturkan konsep yang dimaksud. Temuan ini menunjukkan bahwa lagu-lagu daerah Banyuwangi periode tahun 1970-an dan sebelumnya masih diwarnai oleh kata-kata bahasa Using yang digunakan oleh penutur Using generasi lama, sedangkan lagu-lagu ciptaan baru dibangun oleh kata-kata Using yang masih aktif digunakan dalam percakapan keseharian.
Bertolak dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan dan perkembangan bahasa merupakan dampak dari perubahan dan perkembangan sosial budaya masyarakat. Hal ini secara dinamis akan terus terjadi karena tuntutan kehidupan terus mendorong masyarakat untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kedinamisan dalam perubahan ini menyebabkan terjadinya perbedaan bahasa yang digunakan oleh masyarakat generasi tua dengan bahasa yang digunakan masyarakat generasi muda. Dalam kasus ini, Peccei (1999) mengemukakan bahwa dalam banyak bahasa yang ada di dunia, perbedaan usia sering menimbulkan perbedaan bahasa karena bahasa menjadi wahana utama dalam memenuhi tuntutan kehidupan manusia untuk menyampaikan ekspresi tentang dunia, yakni wawasan tentang dunia sekitar.
Bahasa Using, jika diintegrasikan dengan pandangan Duranti (1997), dapat dikatakan sebagai sistem mediasi, yakni sebagai alat atau media yang digunakan oleh anggota-anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan pandangan itu, dengan munculnya kata-kata serapan dalam teks lagu, dapat dikatakan bahwa bahasa Using belum mampu secara utuh sebagai sistem mediasi yang mewahanai komunikasi masyarakat Using untuk menyampaikan pesan dalam perihal perjuangan, pembangunan, dan masalah sosial tertentu. Masyarakat Using memiliki pengetahuan dan pengalaman budaya yang lebih luas daripada jumlah kandungan mental yang dapat dijangkau oleh kosakata bahasanya. Pengetahuan dan pengalaman tersebut berasal dari luar budaya etniknya sehingga belum terekam di dalam kosakata bahasanya.
2. Kosakata Serapan dalam Teks Lagu Daerah Banyuwangi
Bahasa dan masyarakat memiliki hubungan resiprokal. Perkembangan bahasa dipengaruhi secara kuat oleh perubahan sosial yang terjadi di kalangan masyarakat. Perubahan sosial ini diartikan sebagai perubahan dalam perilaku kehidupan bermasyarakat, termasuk perubahan kedudukan dan peranan mereka dalam struktur sosial masyarakat. Perubahan ini berimplikasi luas terhadap persepsi budaya masyarakat atas kondisi-kondisi yang berkembang di lingkungannya (Kusnadi, 2002:12). Selanjutnya, perubahan persepsi budaya ini akan berdampak pada perubahan bahasa yang digunakannya.
Perubahan persepsi masyarakat Using terhadap lingkungan alam danlingkungan sosial budaya menuntut perubahan sistem komunikasi yang berdampak pada upaya pemenuhan kebutuhan bahasa Using yang digunakan dalam komunikasi tersebut. Munculnya kata serapan dalam bahasa Using merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan bahasa Using terhadap tuntutan perkembangan lingkungan budaya masyarakat Using. Ini menunjukkan bahwa bahasa Using adalah bahasa yang hidup dan dinamis serta selalu berkembang sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakatnya.
Perkembangan bahasa Using banyak dipengaruhi oleh masuknya berbagai unsur dari bahasa lainnya. Salah satu bahasa yang memberikan pengaruh besar pada perkembangan bahasa Using adalah bahasa Indonesia karena masyarakat Using termasuk bagian integral dari masyarakat Indonesia dan masyarakat Using juga sebagai penutur bahasa Indonesia. Di samping itu, sebagai kelompok etnik yang hidup berdampingan dengan etnik Jawa (wong kulonan), masyarakat Using juga menjadi penutur bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan orang Jawa. Peristiwa ini mengimplikasikan bahwa perkembangan bahasa Using juga diwarnai oleh masuknya unsur-unsur bahasa dan budaya Jawa, terutama masuknya kosakata bahasa Jawa Krama.
Keseringan masyarakat Using dalam menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa menyebabkan masuknya kosakata kedua bahasa tersebut ke dalam bahasa Using. Karena itu, dalam teks lagu-lagu daerah Banyuwangi, dapat ditemukan beberapa kosakata serapan dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ragam kosakata serapan dari kedua bahasa tersebut dalam teks lagu diperikan dalam uraian berikut ini.
a. Kosakata Serapan dari Bahasa Indonesia
Dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi, terdapat sejumlah kosakata bahasa Indonesia yang diserap dan digunakan sebagai wahana tuturannya. Kosakata serapan dari bahasa Indonesia ini dapat ditemukan dalam teks lagu lama dan teks lagu baru. Dalam teks lagu-lagu tersebut, kata-kata bahasa Indonesia diserap langsung dan digunakan tanpa mengalami perubahan bentuk dan makna.
Dalam teks lagu-lagu lama, kata-kata serapan dari bahasa Indonesia ini digunakan oleh penutur lagu untuk mengungkapkan perihal perjuangan atau kepahlawanan. Dalam teks lagu yang berjudul Kembang Kirim, penutur lagu menuturkan kata-kata pasukan nol nol tiga dua dan kata-kata dipeluk Ibu pertiwi. Dalam lagu Sepur Lempung, dituturkan kata-kata merdeka, perjuangan, dan andil. Dalam lagu Pahlawan Belambangan, disebutkan kata pemberontakan. Selanjutnya, dalam lagu Pahlawan Bangsa, penutur lagu menggunakan kata gugur dan mustika. Dari kata-kata tersebut, dapat diidentifikasi bahwa kata pasukan nol nol tiga dua mengacu pada nama pasukan dan kata Ibu pertiwi merujuk pada sebutan untuk tanah air Indonesia. Kata merdeka, perjuangan, andil, perjuangan, gugur, dan mustika merupakan kosakata yang mengacu pada gagasan atau konsep-konsep yang berkenaan dengan perihal perjuangan.
Di samping untuk menuturkan perihal perjuangan, penutur lagu menyerap kata bahasa Indonesia untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan atau pembangunan dalam tuturan lagunya. Hal ini dapat dilihat pada teks lagu Makarya dan Sopo Ngongkon. Dalam teks lagu Makarya, penutur lagu menggunakan kata-kata serapan dari bahasa Indonesia, antara lain adalah produksi, pembangunan, sukses, karyawan, persatuan, dan kemakmuran. Sementara, dalam lagu Sopo Ngongkon, penutur lagu menggunakan kata-kata aksi, lamaran, lowongan, dan pembangunan.
Untuk menuturkan masalah-masalah sosial, penutur lagu juga menyerap beberapa kosakata dari bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada teks lagu yang berjudul Amit-amit dan lagu Mata-mata Kidang. Dalam lagu Amit-amit disebutkan kata bahasa Indonesia, yakni kita dan maklum. Penyerapan kata ganti kita ke dalam teks lagu tersebut disebabkan bahasa Using tidak memiliki kata ganti orang pertama jamak. Untuk menyebutkan orang pertama jamak, masyarakat Using menggunakan kata kita yang pengucapannya dengan mengubah vokal /a/ dengan vokal /0/, yakni diucapkan kit0. Kata maklum merupakan kata bahasa Indonesia serapan dari bahasa Arab yang kemudian diserap ke dalam bahasa Using dan digunakan dalam teks lagu. Sementara, dalam lagu Mata-mata Kidang, digunakan kata sewenang-wenang. Kata sewenang-wenang dalam lagu ini mengacu pada perilaku seseorang. Dalam bahasa Using, tidak ada kata yang tepat untuk mengungkapkan sikap seperti itu, yang ada hanya kata kejem ‘kejam’. Namun, kata kejem berbeda dengan kata sewenang-wenang karena kata kejem mengacu pada sifat atau watak, sedangkan kata sewenang-wenang mengacu pada perilaku atau sikap.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat dikemukakan bahwa untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan, pembangunan, pekerjaan, dan beberapa masalah sosial tertentu, penutur lagu atau penutur bahasa Using perlu menyerap kata-kata dari bahasa Indonesia. Kata-kata serapan seperti dicontohkan dalam beberapa teks lagu tersebut belum ditemukan padanannya dalam bahasa Using. Jika kemungkinan ada kata padanannya pun, kata-kata tersebut belum dapat mengungkapkan makna yang sama seperti yang dimaksudkan oleh penutur lagu. Ini menandakan bahwa bahasa Using belum mampu secara utuh menjadi bahasa komunikasi untuk mengungkapkan perihal perjuangan, pembangunan, pekerjaan, dan masalah sosial tertentu. Karena itu, untuk melengkapinya, bahasa Using menyerap kosakata dari bahasa Indonesia.
Dalam beberapa teks lagu baru, juga ditemukan kosakata serapan dari bahasa Indonesia. Kosakata tersebut digunakan oleh penutur lagu dalam menuturkan lagu-lagu yang berjudul Cinta, Jatuh Cinta, Mugo-mugo, Nggampung, dan Semebyar. Kata-kata bahasa Indonesia yang diserap dan digunakan dalam teks beberapa lagu tersebut adalah cinta, pacaran, jatuh cinta, cobaan, pupuk urea, anjuran, pemerintah, dan linglung. Bahkan, dalam lagu yang berjudul Ojo Cemburu, terdapat tuturan lagu yang berbentuk kalimat bahasa Indonesia, yakni aku cinta kamu sayang kamu, percayalah abang jangan ragu.
Jika dicermati dari kata-kata yang diserapnya, kata-kata bahasa Indonesia yang diserap oleh lagu-lagu baru adalah kata-kata yang menyatakan perihal cinta. Kata-kata tersebut sebenarnya telah ada dalam padanannya dalam kata-kata bahasa Using. Lagu-lagu baru menyerap kosakata tersebut untuk mengedepankan kepopuleran tuturan yang sesuai dengan kebutuhan penikmat yang sebagian besar adalah generasi muda.
b. Kosakata Serapan dari Bahasa Jawa
Selain menggunakan kata-kata serapan dari bahasa Indonesia, penutur lagu daerah Banyuwangi juga menyerap kata-kata dari bahasa Jawa, baik bahasa Jawa krama maupun bahasa Jawa ngoko. Kosakata serapan bahasa Jawa krama banyak digunakan dalam teks lagu-lagu lama, sedangkan kosakata serapan bahasa Jawa ngoko digunakan dalam teks lagu-lagu baru.
Kosakata serapan dari bahasa Jawa krama dapat diamati dalam teks lagu yang berjudul Perawan Sunthi dan lagu Mata Walangen. Dalam teks lagu Perawan Sunthi, terdapat kata-kata ndika ‘kamu’, teng ‘di’, pundi ‘mana’, nopo ‘paran’, dan kulo ‘saya’, sedangkan dalam lagu Mata Walangen, terdapat kata ageng ‘besar’ dan alit ‘kecil’. Kata-kata tersebut dalam bahasa Using adalah rika, nong, endi, paran, isun, gedhe, dan cilik. Kata-kata tersebut dikatakan sebagai kata serapan dari bahasa Jawa krama karena didasari oleh alasan bahwa bahasa Using tidak mengenal kosakata tingkat tutur untuk membedakan stratifikasi sosial dalam tuturannya. Bahasa Using tidak memiliki hirarkhi bahasa seperti ngoko dan krama dalam tuturan bahasa Jawa.
Masyarakat Using memiliki kode kesopanan sederhana dalam percakapan, yakni penggunaan kata ganti orang kedua sira dan rika (Zainuddin, 2001). Kata rika digunakan oleh penutur yang usia atau statusnya lebih rendah daripada mitra tuturnya, sedangkan kata sira digunakan oleh penutur yang usia dan statusnya sederajat atau lebih tinggi daripada mitra tuturnya. Karena itu, jika dalam percakapan di kalangan masyarakat Using, digunakan kata-kata krama yang menunjuk pada bentuk tuturan hormat (penggunaan bahasa halus dalam cara Jawa), tuturan tersebut merupakan pengaruh tuturan dari budaya Jawa, dan kata-kata yang digunakannya pun adalah kosakata serapan dari bahasa Jawa (krama). Bentuk bahasa dan cara hormat dalam percakapan tersebut dapat dilihat pula dalam teks lagu berjudul Mbayar Utang.
Kutipan (01)
.../Sira keseron – seron gedigu bain kok njaluk diupahi/Sangangulan nggondhol sira isun iki sopo hang ngupahi/Waktu lahirira isun antarane urip lan mati/Raina bengi ngerumat sira isun iki sopo ngupahi/Dhuh … kelingana sampek ngoten rekaos ndika/ Mugi – mugi sageta mbayar utange awak kulo/ Seputene mawon, sak niki kula empun ngerti/Kula janji teng awak kula, ajeng bakti sampik mati/
Pada kutipan di atas, penutur lagu menggambarkan peristiwa percakapan antara seorang anak dengan ibunya. Dalam percakapan tersebut, digunakan kata ganti orang pertama isun dan kulo dan kata ganti orang kedua sira dan ndika. Kata sira dan isun digunakan oleh ibu ketika bertutur kepada anaknya, sedangkan kata kulo dan ndika digunakan oleh anak ketika bertutur kepada ibunya. Dalam teks tersebut, anak tidak menggunakan kata isun dan rika ketika bertutur kepada ibunya karena kata-kata tersebut dipandang kurang santun. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikemukakan bahwa untuk lebih menunjukkan rasa hormat dalam percakapan, tuturan bahasa Using menggunakan kata ganti yang diserap dari bahasa Jawa (krama).
Selain penggunaan kata ganti, dalam kutipan itu juga terdapat kosakata bahasa Jawa (krama) yang digunakan untuk menyampaikan tuturan hormat. Kata-kata yang dimaksudkan adalah ngoten rekaos ndika, mugi-mugi sageta mbayar utange awak kulo, seputene mawon, sak niki kula empun ngerti, kula janji teng awak kula, ajeng bakti sampik mati. Tuturan tersebut sebenarnya dapat diungkapkan dengan menggunakan kata-kata bahasa Using yang bukan serapan, yakni gedigu rekoso rika, mugo-mugo bisaa mbayar utange awak isun, separane bain, saiki isun wis ngerti, isun janji nong awak isun, arep bakti sampik mati. Namun, tuturan bahasa Using yang demikian ini, dalam pandangan budaya Jawa, dianggap tingkat kesantunannya rendah karena menggunakan bahasa ngoko. Poedjasoedarmo (1979) mengatakan bahwa tingkat tutur ngoko termasuk ragam kasar dalam percakapan masyarakat Jawa.
Kosakata serapan dari bahasa Jawa ngoko dapat diamati pada teks lagu baru. Dalam lagu yang berjudul Ojo Cemburu, terdapat tuturan yang berbunyi aku ora bakal ngapusi/mung awakmu prio sing tak tresnani/aku ra pingin pisah karo kowe. Dalam bahasa Indonesia, tuturan tersebut berbunyi ‘aku tidak akan menipu/hanya kamu laki-laki yang saya cintai/saya tidak ingin berpisah dengan kamu’. Kata-kata aku, awakmu, dan kowe adalah kata ganti dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Using, kata-kata tersebut adalah isun, awak rika, dan rika. Kata-kata bahasa Jawa ngoko ini digunakan dalam tuturan untuk menjadikan tuturan tersebut lebih akrab dengan pendengarnya, atau dengan kata lain, tuturan bahasa Jawa tersebut digunakan oleh penutur dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan atau minat pendengarnya.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa digunakannya bahasa Jawa krama dalam percakapan masyarakat Using disebabkan oleh pengaruh budaya Jawa. Bahasa Using tidak mengenal kosakata tingkat tutur yang membedakan antara tuturan untuk orang yang berstatus tinggi dan tuturan untuk orang yang berstatus rendah. Berbicara kepada siapa pun dalam kelompok etniknya, orang using menggunakan kosakata bahasa Using yang sama, yang dikenal dengan istilah cara Using (Subaharianto, 2002). Cara Using ini tidak dapat disetarakan dengan bahasa ngoko dalam budaya Jawa karena bahasa Using tidak memiliki pemilahan bahasa antara bahasa ngoko dan bahasa krama.
Hal ini berbeda dengan budaya Jawa yang memiliki kosakata tingkat tutur untuk membedakan stratifikasi sosial dalam bertutur dan menarik batas tegas antara ngoko dan krama. Poedjasoedarmo (1979) menjelaskan bahwa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak dan keakraban antara pembicara dan kawan bicara, juga pembicara yang berstatus sosial tinggi kepada kawan bicara yang berstatus sosial lebih rendah. Sementara, tingkat tutur krama adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun, yang menandakan perasaan segan penutur kepada mitra tuturnya karena mitra tuturnya adalah orang belum dikenal, berusia lebih tua, berstatus lebih tinggi, dan sebagainya. Karena itu, dalam budaya Jawa, ciri bahasa dalam percakapan menunjukkan hirarkhi status sosial partisipan percakapan itu.
Dengan tidak dikenalnya kosakata tingkat tutur untuk membedakan stratifikasi sosial dalam berbahasa, percakapan sehari-hari di kalangan masyarakat Using menjadi lebih cair, mengalir, spontan dan lebih lugas. Tidak ada sistem nilai yang rumit yang membatasi dan membayangi seseorang dalam bertutur. Di komunitas Using, orang tidak perlu takut dianggap “salah bicara” dalam pengertian budaya Jawa. Dalam budaya Jawa, orang dianggap “salah bicara” kebanyakan bukan dalam konteks gramatikal melainkan dalam konteks sosial. Orang Jawa harus paham siapa dirinya dan siapa yang diajak bicara karena ketidakpahaman hal tersebut dapat berakibat pada “salah bicara”, yang berarti ketidakmampuan menggunakan penanda status yang mutlak bagi pembicara bahasa Jawa. Kenyataan ini sejalan dengan pernyataan Geertz (1995) yang mengatakan bahwa cara orang Jawa berbicara berelasi dengan cara orang tersebut melihat atau memikirkan dunia. Karena itu, dapat dikatakan bahwa cara seseorang mengatakan sesuatu sesungguhnya identik dengan sikap atau isi dari yang dikatakan itu.
Dalam konteks yang terbatas, di kalangan masyarakat Using dijumpai peristiwa tutur yang menggunakan bentuk-bentuk tuturan sederhana “menghormat cara Jawa” yang disebut Besiki. Besiki dalam masyarakat Using memang mirip dengan krama madya dalam bahasa Jawa, tetapi orang Using tidak memperlakukannya sama dengan krama. Orang Using menggunakan besiki hanya pada acara-acara formal yang bernilai sakral, misalnya sambutan pada acara selamatan, kematian, atau pertemuan resmi dengan calon mertua (Beatty, 2001). Penggunaan Besiki tidak pernah dijumpai dalam percakapan sehari-hari karena penggunaan Besiki bukan untuk menunjukkan perbedaan usia atau status sosial penutur dengan mitra tuturnya, melainkan lebih mengacu pada aspek situasi tutur. Kalau pun ada perbedaan status sosial dari penutur dengan mitra tuturnya, reproduksi Besiki bukan karena perbedaan status tersebut, melainkan tuntutan situasi yang melingkupinya. Karena itu, Besiki oleh masyarakat Using lebih dikonsepsikan sebagai bentuk asing daripada bagian integral bahasa mereka.
Sikap egaliter masyarakat Using dalam pemilihan dan penggunaan bentuk-bentuk bahasa dalam percakapan berpengaruh pada warna dan perkembangan bahasa mereka. Mereka memiliki kelonggaran dalam menentukan bentuk-bentuk tuturan yang sesuai dengan konsep atau gagasan yang akan dituturkannya dengan tetap memegang norma budaya yang dihormatinya. Karena itu, masuknya kata-kata bahasa Indonesia dan kata-kata bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Using merupakan salah satu dampak dari keegaliteran sikap mereka dalam menentukan pilihan bentuk bahasa yang dipandang tepat. Di samping itu, dalam menyajikan gagasan tertentu, masyarakat Using juga memiliki kelonggaran dalam mencipta bentuk-bentuk tuturan baru yang khas dan dianggap tepat untuk mewadahi gagasan itu.
Contoh kasus penyerapan kosakata sebagaimana diperikan di atas merupakan cerminan bahwa di dalam masyarakat Using, komunitas penutur lagu baru memiliki perbedaan dengan komunitas penutur lagu lama dalam sistem budaya penggunaan bahasanya. Perbedaan ini, menurut Peccei (1999:103), disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memandang dunia sekitarnya. Perbedaan wawasan keduniaan mereka terekspresikan ke dalam bahasa yang dituturkannya. Itulah sebabnya, Peccei menjelaskan bahasa adalah sebuah kegiatan yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia yang digunakan untuk menyampaikan ekspresi tentang dunia (wawasan tentang dunia sekitar). Bahasa adalah sarana utama untuk menyampaikan budaya dan keyakinan budaya dari anggota masyarakat yang satu kepada anggota masyarakat yang lain. Struktur bahasa mencerminkan cara budaya memandang dunia dan mencerminkan pembedaan-pembedaan/kategori-kategori yang dianggap penting oleh budaya itu.
3. Kosakata Khas Using dalam Teks Lagu Daerah Banyuwangi
Kosakata khas Using adalah kosakata asli bahasa Using yang merupakan hasil kreativitas masyarakat Using untuk mengungkapkan makna tertentu. Kosakata yang demikian ini sering digunakan oleh para penutur lagu untuk mengembangkan tuturan lagunya. Dalam teks lagu-lagu daerah Banyuwangi, kosakata khas Using banyak ditemukan dalam lagu-lagu lama. Kosakata khas Using dalam lagu daerah Banyuwangi berupa (a) kosakata tempaan dan (b) ungkapan khas Using.
a. Kosakata Tempaan
Dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi, penutur lagu menggunakan kosakata tempaan untuk membangun konteks tuturan dalam menyampaikan makna tertentu. Kosakata tempaan ini ada yang dimanfaatkan untuk membangun asonansi atau perulangan bunyi, ada juga yang diciptakan untuk menunjukkan ciri khas Using dalam mengungkapkan fenomena budaya universal. Kosakata tempaan yang digunakan untuk membangun asonansi dapat diperiksa dalam teks lagu berjudul Ya Ope pada kutipan (3.02) dan teks lagu berjudul Ula-ula Rase pada kutipan (3.03) berikut ini.
Kutipan (02)
Ya ope-ya ope, ya ope-ya ope, ore – ore kembang jambe
Kutipan (03)
Selebur-selebur ndara mantri mangan bubur/ Selebur-selebur ndara mantri lungguh ring kasur/...
Dalam tuturan dua kutipan di atas, terdapat kata-kata tempaan yang dimanfaatkan untuk menimbulkan efek bunyi. Pada kutipan (02), penutur lagu menggunakan kata ya ope. Kata tersebut dimanfaatkan dalam tuturan lagu untuk membangun asonansi dengan tuturan ore-ore kembang jambe ‘bunga pinang yang terurai’. Kata ya ope ini tidak ditemukan maknanya dalam kamus bahasa Using, tetapi berdasarkan konteks tuturan selanjutnya, kata ope dapat ditafsirkan acuannya adalah pelepah pohon pinang. Dalam bahasa Using, pelepah pohon pinang ini disebut upih, dan dari kata upih ini diciptakan kata baru ope. Sementara, pada kutipan (03), penutur lagu menggunakan kata selebur yang dalam teks lagu dimaksudkan untuk membangun asonansi dengan bunyi bubur dan kasur. Dalam kamus bahasa Using, kata tersebut tidak ditemukan lema dan maknanya. Jika dilihat dari konteks lagunya, kata selebur-selebur ini merupakan kata-kata permainan yang diucapkan anak-anak pada permainan ula-ula rase. Contoh lain kata tempaan tersebut dapat diperiksa dalam teks lagu Bang Cilang-cilung.
Kutipan (04)
/Bang cilang – cilung, kucing garong melung–melung Bang cilang – cilung, kang direbut daya mong belung/...
Kata bang cilang-cilung dalam kutipan (04) merupakan bentuk kata tempaan. Penutur lagu menggunakan kata-kata tersebut untuk membangun bunyi yang berasonansi dengan kata melung-melung dan belung. Berdasarkan konteksnya, kata bang cilang-cilung menggambarkan kucing yang sedang berebut tulang. Kucing-kucing itu berteriak-teriak karena sedang beradu kekuatan untuk mendapatkan tulang.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan masyarakat Using memiliki kreativitas dalam menciptakan tuturan. Munculnya kreativitas dalam menenmpa kata-kata ini disebabkan oleh adanya kebebasan masyarakat Using dalam bertutur yang tidak dibatasi oleh penggunaan bentuk tuturan yang harus memperhatikan strata sosial partisipan tuturnya. Sikap egaliter dalam penggunaan bahasa Using menjadikan masyarakat Using dalam menggunakan bentuk-bentuk tutur tidak merasa terbebani oleh resiko terjadi konflik antarpartisipan tutur yang disebabkan oleh pilihan bentuk tutur yang melanggar kesantunan. Dalam komunikasi masyarakat Using, penghindaran konflik ini tidak ditentukan oleh bentuk tutur yang digunakan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh cara penyampaian tuturan dan isi tuturannya. Kondisi ini rupanya berbeda dengan pandangan Brown dan Levinson (1987) yang mengatakan bahwa penggunaan kesantunan berkaitan erat dengan penghindaran konflik yang dapat dilakukan oleh penutur dengan cara memilih bentuk-bentuk tutur yang dapat menyelamatkan muka mitra tutur.
Kreativitas masyarakat Using dalam menciptakan bentuk tuturan juga tampak pada penggunaan bentuk-bentuk tutur yang mengungkapkan fenomena budaya yang universal. Masyarakat Using memiliki kosakata yang khas untuk menyampaikan bentuk-bentuk dan aktivitas budaya yang juga dimiliki oleh masyarakat lainnya. Kosakata yang dimaksudkan dapat diperiksa pada teks lagu Conge-conge Atang.
Kutipan (05)
/Nge-conge atang, conge – conge atang/ Ya sun conge anakisun lanang/ De-gelisa gede, gede gelisa gede/Kadhung wis gede tandanga gawe/...
Praktik budaya seperti yang dituturkan dalam kutipan (05) merupakan suatu fenomena budaya universal yang terjadi pada hampir seluruh masyarakat. Dalam teks lagu Conge-conge Atang, penutur lagu menceritakan tradisi budaya masyarakat Using ketika mereka sedang memandikan anaknya yang masih bayi. Dalam tradisi masyarakat Using, orang tua sudah biasa memandikan anaknya yang masih bayi di sungai. Sambil memandikan anaknya, orang tua menyanyikan lagu yang sebagian tuturannya seperti diungkapkan pada kutipan (05). Budaya memandikan bayi di sungai tidak biasa dilakukan oleh orang Jawa. Orang Jawa umumnya memandikan bayinya dalam bak mandi di rumah atau di kamar mandi. Tuturan yang diucapkan oleh orang Jawa dalam memandikan anak adalah adus banyu gege ben ndang gelis gedhe, nyemplung kedhung bunder ben ndang gelis pinter (mandi air dingin biar cepat besar, masuk ke kedung bundar biar cepat pintar).
Praktik budaya seperti yang diungkapkan dalam kutipan (05) sudah mulai punah. Masyarakat Using sudah jarang yang memandikan bayinya di sungai. Pada umumnya, mereka telah mengubah kebiasaan tersebut dengan kebiasaan baru, yakni memandikan bayinya di bak mandi dengan menggunakan air bersih yang kadang-kadang juga dengan air hangat. Berubahnya tradisi ini menggambarkan adanya perubahan sikap budaya masyarakat Using yang lebih rasional, objektif, dan modernis.
b. Ungkapan Khas dalam Bahasa Using
Ungkapan khas dalam bahasa Using merupakan hasil penggalian dari tradisi budaya Using dan digunakan oleh masyarakat Using sebagai pedoman hidup. Ungkapan tersebut berupa kata-kata atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan sesuatu maksud (Danandjaja, 2002). Kata-kata dalam ungkapan tersebut tidak dapat diganti dengan kata dari bahasa lain karena dapat mengubah maknanya. Ungkapan-ungkapan tersebut digunakan dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi untuk membangun tuturan yang dapat mengungkapkan konsep secara tepat. Ungkapan-ungkapan tersebut dalam teks lagu hanya digunakan dalam teks lagu-lagu lama.
Dalam teks lagu Ulan Andhung-andhung, terdapat ungkapan mendem gadhung yang berarti bingung dan ungkapan yong-yong kelopo dhoyong berarti ikut-ikutan. Sementara, dalam teks lagu Mata Walangen, terdapat ungkapan mata walangen yang berarti melamun, kembang ronce yang berarti rangkaian bunga kematian, dan kembang ati adalah pujaan hati. Dari ungkapan-ungkapan tersebut, yang masih berlaku dalam percakapan sehari-hari adalah ungkapan mendem gadhung dan kembang ati, sedangkan ungkapan yong-yong kelopo dhoyong dan kembang ronce mulai menurun penggunaannya.
Dalam teks lagu Kembang Peciring, terdapat ungkapan blimbing bumi dan lincak duwur. Sebutan blimbing bumi dalam bahasa Using adalah wesah, kemudian dari kata tersebut digunakan sebagai ungkapan yang bermakna ‘susah’. Demikian juga, lincak dhuwur dalam bahasa Using disebut paga, dari kata paga selanjutnya dibentuk kata muga-muga ‘mudah-mudahan’. Dalam teks lagu Luk-luk lumbu, terdapat ungkapan luk-eluk lumbu yang bermakna ‘orang yang tidak punya pendirian’. Dalam teks lagu Kembang Terong, terdapat ungkapan kembang terong yang berarti ‘kikir’. Sementara, dalam teks lagu Ya Ope, terdapat ungkapan sangga uwang yang berarti ‘bertopang dagu sambil melamun’. Dari beberapa ungkapan tersebut, ungkapan yang masih dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari di kalangan masyarakat Using adalah blimbing bumi, kembang terong, dan songgo uwang, sedangkan lincak duwur dan luk-eluk lumbu sudah tidak dikenali dalam percakapan sehari-hari.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa ungkapan khas Using ada sebagian yang masih hidup dan ada juga yang sudah tidak dikenal lagi oleh sebagian besar masyarakat Using. Sastrowardojo (1985) menyatakan bahwa ungkapan yang masih diketahui secara luas di tengah masyarakat memberikan pedoman bagi orang banyak dan membuktikan adanya sikap moral yang dicita-citakan oleh mereka. Sementara, ungkapan yang sudah tidak diingat lagi oleh masyarakat berarti sudah lemahnya kekuasaan ungkapan tersebut sebagai pedoman hidup. Ungkapan yang demikian ini dalam masyarakat Using sudah jarang digunakan dan hanya bisa diperoleh dan didengar dari ucapan generasi tua.
Rendahnya frekuensi penggunaan ungkapan khas Using ini disebabkan oleh tuntutan perubahan yang terjadi pada budaya masyarakat Using. Adanya kemajuan dalam bidang pendidikan dan merambahnya budaya masyarakat maju mengubah perilaku budaya masyarakat Using yang semakin terbuka. Demikian juga, mudahnya proses migrasi penduduk untuk memasuki wilayah Banyuwangi menjadikan kehidupan masyarakat Using semakin terdesak. Persaingan hidup menjadi semakin ketat sehingga memerlukan upaya keras dan cepat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sikap yang demikian ini berpengaruh besar pada strategi dalam bertutur, yakni mereka cenderung memilih strategi langsung dalam penyampaian gagasannya. Hal inilah yang menyebabkan semakin menurunnya penggunaan ungkapan dalam komunikasi masyarakat Using sehari-hari.
Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Using terdapat sejumlah nilai dan norma yang mengendalikan dan mengatur aktivitas sosial budaya suatu masyarakat. Nilai dan norma budaya ini menjadi pedoman dan pegangan hidup yang dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Conklin (1984) menyatakan bahwa nilai dan norma budaya mengatur dan mengarahkan cara berpikir, berperilaku, bertutur anggota masyarakat dalam situasi tertentu.
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Using sering digunakan oleh orang-orang tua di masyarakat Using untuk menuturkan masalah-masalah khusus yang dipandang tabu atau tidak pantas jika dituturkan dengan kata-kata yang lugas sehingga mereka menggunakan ungkapan. Tabu yang dimaksudkan dalam pengertian ini, dalam pandangan Wardhaugh (1998), adalah kata-kata yang dilarang atau harus dihindari penggunaannya dalam masyarakat karena diyakini dapat mengganggu para anggotanya, dalam arti akan menyebabkan kecemasan, rasa sungkan atau rasa malu. Sebagai akibatnya, sepanjang berurusan dengan bahasa, hal-hal tertentu tidak diungkapkan atau benda-benda tertentu hanya dapat dirujuk dengan menggunakan kata-kata lain.
Simpulan
Paradigma kajian budaya memandang teks lagu daerah Banyuwangi sebagai produk budaya etnik Using. Paradigma ini mengedepankan teks tuturan lagu sebagai sumber kajian dalam pemerian budaya etnik Using. Pemaknaan secara hermeneutik dengan berlandaskan pada pandangan emik menyimpulkan bahwa kosakata dalam teks lagu daerah Banyuwangi mengekspresikan budaya etnik Using.
Kosakata ekspresi budaya etnik Using dalam teks lagu-lagu daerah Banyuwangi dapat dikelompokkan menjadi beberapa ragam. Kosakata dalam teks lagu lama meliputi kosakata keseharian, kosakata arkhais, kosakata serapan dari bahasa Indonesia, kosakata serapan dari bahasa Jawa (krama), kosakata tempaan, dan ungkapan khas Using. Kosakata dalam teks lagu baru meliputi kosakata keseharian, kosakata serapan dari bahasa Indonesia, dan kosakata serapan dari bahasa Jawa (ngoko). Keberagaman kosakata dalam teks lagu tersebut merupakan cerminan bahwa dalam kehidupan masyarakat Using terjadi dinamika komunikasi dan dinamika sosial yang mempengaruhi perubahan bahasa yang digunakannya.
Kosakata dalam teks lagu lama dan kosakata dalam teks lagu baru menyampaikan muatan budaya yang berbeda. Kosakata dalam teks lagu lama mengandung muatan budaya perihal tradisi masyarakat, perjuangan pahlawan, pekerjaan, kritik sosial, dan pembangunan. Sementara, kosakata dalam teks lagu baru bermuatan budaya perihal cinta dan penyesalan. Perbedaan muatan budaya dalam kedua lagu tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Using generasi tua dan generasi muda memiliki pola persepsi dan strategi adaptasi yang berbeda terhadap lingkungan kehidupan yang melingkupinya.

Daftar Pustaka
Barker, Chris. Cultural Studies: Teori & Praktik. Terjemahan oleh Nurhadi. 2004. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Terjemahan oleh Achmad Fedayani Saefuddin. 2001. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Conklin, John E. 1984. Sociology: An Introduction. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.
Coulthard, Malcolm. 1979. An Introduction to Discourse Analysis. London: Longman Group Limited.
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Geertz, Clifford. 1993. Tafsir Kebudayaan. Terjemahan Fransisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistic: An Ethnographic Approach. Philadelphia: PennsylvaniaPress.
Jones, Jason. 1999. Language and Class. Dalam Linda Thomas dan Shan Wareing (Eds.). Language, Society, and Power. New York: Routledge.
Kodiran. 1998. Kesenian dan Perubahan Masyarakat. Makalah Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora di Yogyakarta pada 8—9 Desember 1998.
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kusnadi. 2002. Kebijakan dan Arah Penelitian Bahasa Using di Masa Depan. Dalam Sugiono dan Maslikatin (Eds.). Bahasa dan Sastra Using: Ragam dan Alternatif Kajian. Jember: Universitas Jember.
Levinson, Stephen C. 1986. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dan Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS.
Peccei, Jean Stilwell. 1999. Language and Age. Dalam Linda Thomas dan Shan Wareing (Eds.). Language, Society, and Power. New York: Routledge.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Subaharianto. 2002. Budaya Bercocok Tanam Padi. Jakarta: Jakarta: Ditjen PTP

0 komentar: