THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Selasa, 26 Agustus 2008

MODEL INOVATIF PEMBELAJARAN BAHASA

Model Pembelajaran Lingkungan dan Model Pembelajaran Kooperatif
(Oleh: Imam Suyitno)

A. Pendahuluan
Belajar bahasa adalah belajar berbahasa, artinya berpraktik menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan maknanya dalam komunikasi. Karena itu, belajar bahasa terjadi dalam suatu kegiatan interaksi belajar-mengajar bahasa. Aktivitas interaksi pembelajaran bahasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan aktivitas interaksi pembelajaran mata pelajaran lainnya. Karakteristik aktivitas interaksi belajar-mengajar bahasa disajikan berikut ini.
(1) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar berpusat pada siswa. Artinya, siswa yang harus aktif dalam melaksanakan praktik penggunaan bahasa. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar merupakan salah satu karakteristik yang menonjol dari interaksi pembelajaran.
(2) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah secara langsung pada latihan atau praktik penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulis. Praktik penggunaan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa, karena pengajaran yang hanya difokuskan pada pemahaman kaidah bahasa tidak akan berpengaruh pada performansi aktual baik dalam berbicara maupun menulis..
(3) Aktivitas yang dilaksanakan dapat membina dan mengarahkan kemampuan siswa dalam memilih dan menata bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu tindak komunikasi. Faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi siapa partisipan wicara, untuk tujuan apa, dalam situasi bagaimana, dalam konteks apa, dengan jalur dan media mana, dan dalam peristiwa apa.
(4) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah pada kreativitas penggunaan bahasa bukan hanya penggunaan bahasa yang bersifat mekanik. Aktivitas yang dilaksanakan harus benar-benar memberikan kesempatan kepada pelajar untuk menggunakan bahasa secara kreatif dengan jalan bebas memilih apa yang akan diungkapkan dan bagaimana mengungkapkannya. Latihan-latihan yang bersifat mekanik harus diminimalkan karena tidak memberikan kesempatan pada pelajar untuk berkreasi dalam memilih dan menata bahasanya sendiri.

Agar aktivitas interaksi belajar-mengajar sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat dicapai, setiap guru bahasa harus dapat berperan sebagai individu yang mampu memberikan bimbingan, memantau kegiatan siswa, menciptakan latihan-latihan kreatif, dan dalam kesempatan yang lain dapat bertindak sebagai teman komunikasi bersama-sama dengan siswa. Interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar berasal dari dan terletak pada siswa. Siswa harus mendapat kesempatan dalam interaksi komunikatif yang bermakna. Dalam hal ini siswa berperan sebagai subjek didik, sedangkan guru bertindak sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan, dan pembimbing siswa dalam berlatih berkomunikasi secara wajar.
Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam kegiatan belajar-mengajar harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan memotivasi belajar siswa. Motivasi yang tinggi akan dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini terjadi karena dengan motivasi yang tinggi, siswa terdorong untuk mengetahui, kemudian melakukan sesuatu untuk dapat menerima apa yang ingin diketahuinya tersebut. Peningkatan motivasi siswa dalam belajar dapat dilihat pada adanya keterlibatan secara aktif siswa terhadap hal-hal yang dipelajarinya. Sebaliknya, pengajaran yang kurang sesuai dengan kebutuhan siswa akan sangat membosankan, sehingga motivasi belajar siswa menjadi rendah.
Sehubungan dengan uraian di atas, berikut ini ditawarkan dua model pembelajaran bahasa, yakni model pembelajaran lingkungan dan model pembelajaran kooperatif. Kedua model tersebut disajikan secara singkat berikut ini.


B. Model Pembelajaran Lingkungan
1. Mengapa Harus Sekolah?
Hup …kena! Hup … hup … hup, kena lagi!
Alin riang gembira berlompatan mengejar anai-anai yang beterbangan di seputar kepalanya. Jemarinya yang mungil berseliweran menggapai laron-laron itu. Beberapa kali berhasil ditangkapnya lalu binatang itu dimasukkan di kantong plastik. Sebenarnya beberapa kali juga dia gagal menangkap laron-laron itu. Meski demikian, Alin tak putus asa karena dia merasa di tempat inilah kenikmatan berburu ditemukannya.
Hujan semalaman deras sekali. Pagi itu pasti banyak anai-anai bertebaran. Bagi Alin ini kesempatan yang menakjubkan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Anak itu tak bisa diam, ia langsung terjun menikmati keadaan. “Yaa.. berhasil, kena lagi!” begitu teriaknya setiap dia menuai prestasi.
Sayang matahari seperti diburu waktu. Tak terasa hari merambat siang. Dari dalam rumah terdengar lengking suara mama memecah pagi. “ Aliin… ayo mandi, sekolah! Jemputan sebentar lagi datang!” Sejenak Alin menghentikan aktivitasnya. Akan tetapi, berburu laron begitu mengasyikkan. Hup…hup…hup dia pun bergerak kembali. Anak itu baru mau berhenti ketika mamanya sudah mengulang teriakan beberapa kali, tentu dengan tanda seru yang besar.
Berantakan sudah semuanya. Kegembiraan dunia anak harus terputus. Pagi ini Alin musti berangkat ke sekolah. Harus duduk tertib menyimak guru mengajar, mengerjakan tugas-tugas yang tidak disenanginya. Ia harus berangkat menuju alam dewasa. Seperti kita. Memasuki dua budaya yang bersistem ketat dan mekanistis. Kalau sudah begitu Alin jadi teralienasi. Ia kerap merasa terperangkap ke dalam dunia orang dewasa yang asing dan menjemukan. “Mengapa harus sekolah Ma/ Untuk apa sekolah?” pikir Alin sambil ngeloyor ke kamar mandi. Hampir pertanyaan itu dilontarkan, tetapi ditelannya kembali, sebab hal itu sudah pernah ditanyakan dan dia sudah hafal jawaban mamanya, “Supaya kamu jadi anak pintar?”
Mengapa harus sekolah? Untuk apa sekolah? Mengapa ada jingle pendek di televisi, Ayoooo sekolah…?
Pertanyaan seperti itu dianggap sebagai pertanyaan naif seorang bocah itu bernama Alin. Namun, pertanyaan smacam itu perlu dipandang sebagai pertanyaan yang mendasar yang seharusnya mengusik pakar pendidikan, guru, dan orang tua yang pedua pendidikan. Apalagi di saat seperti sekarang ini, tatkala efektivitas pendidikan dipertanyakan, ketika sejumlah lulusan sekolah formal tidak mampu menjawab sederetan masalah konkret dalam kehidupan nyata.
Sharon Lechter pernah gelagapan ketika ditanya oleh anaknya yang sudah SMA. “Mengapa saya harus memberikan waktu untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak pernah saya pergunakan dalam kehidupan nyata sehari-hari?” Supaya kamu mendapat nilai bagus sehingga kamu bisa masuk perguruan tinggi yang favorit. Akan tetapi, si anak menukas: “daripada berjuang untuk masuk perguruan tinggi, saya akan berjuang untuk menjadi orang kaya.”
Berdasarkan contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekolah tampaknya telah mereduksi banyak aspek. Potensi anak yang mestinya beragam dan beperspektif luas, di sekolah direduksi menjadi kecerdasan intelektual saja. Anak menjadi tercerabut dari kehidupan nyatanya, sebagaimana kasus yang dialami oleh Alin.
Betulkah Alin hanya bermain-main, ketika dia mengejar anai-anai? Sia-siakah kegiatan yang membahagiakan hatinya itu?
Sangat mungkin dalam pikiran Alin berlompatan juga sekian pertanyaan seiring dengan gerak lincah kakinya yang melompat-lompat itu. Pertanyaan-pertanyaan itu, misalnya, Mengapa laron keluar setelah hujan semalaman? Mengapa umur laron begitu pendek? Mengapa sayapnya mudah rontok? Sungguh ini merupakan pertanyaan amat ilmiah, bahan kajian dan materi bidang sain. Mungkin sekali, Alin juga akan mengamati bentuk laron ukuran laron, dari mana laron itu berasal, dan masih banyak lagi sejumlah pertanyaan lainnya.
Di tempat ia berlari-lari, ia juga merasakan udara di alam bebas itu, melihat berbagai jenis tumbuhan, dan mungkin sekali benda-benada lain yang menarik hatinya. Ketika ia memilih benda yang sesuai dengan pilihannya, tentu ia memiliki alasan yang kuat mengapa ia memilih benda tersebut. Mengapa ia memilih plastik untuk tempat laron? Mengapa ia tidak membungkusnya dengan daun?
Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya merupakan pertanyaan yang bagus dan dapat dijadikan bahan pembelajaran bahasa bagi siswa. Untuk mencapai suatu kompetensi dasar tertentu, misalnya menulis deskriptif, melaporkan hasil pengamatan, menceritakan objek yang menarik, dan sebagainya, siswa ditugasi untuk melakukan pengamatan terhadap suatu objek yang ada di lingkungan sekolah. Hasil pengamatan tersebut dijadikan untuk menjawab atau mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya. Teknik pembelajaran yang demikian inilah yang ditawarkan dalam pembelajaran bahasa dengan Model Pembelajaran Lingkungan (MPL).

2. Model MPL
MPL dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari yang sederhana tidak menyita waktu sampai yang paling kompleks yang memerlukan waktu berhari-hari. Hal ini bergantung pada tujuan pembelajaran dan kondisi setempat.

a. MPL Samping Waktu
MPL ini dilakukan di luar jam belajar siswa. Ketika siswa berangkat ke sekolah atau perjalanan ke mana pun siswa diminta mengamati suatu objek atau suatu peristiwa yang menarik perhatiannya. Kemudian di sekolah dia diminta memaparkannya secara lisan atau tertulis. Guru dapat menentukan apakah deskripsi tersebut seragam bentuknya (semua menulis paragraf pendek) atau bebas, artinya siswa bebas memilih bentuk ungkapannya (eksposisi, narasi, atau mungkin dalam bentuk puisi). Sebaiknya, pengerjaan tugas tersebut berpasangan atau berkelompok sehingga siswa dapat berbagi pengalaman.
Kelebihan bentuk MPL ini ialah tidak meyita jam pelajaran, guru tidak kehilangan waktu. Kelemahannya, kegiatan pengamatan siswa kurang bisa dipantau.

b. MPL Singkat Waktu
Siswa dibagi dalam beberapa kelompok, yang setiap kelompok terdiri atas 4-5 siswa. Setiap kelompok ditugasi keluar kelas dalam waktu 10—15 menit untuk mengamati objek berbeda-beda yang ada di lingkungan sekolah dan mencatatnya. Hal yang perlu diamati, misalnya, bentuk objek yang diamati, warnanya, ukurannya, bentuknya, bahan asal objek tersebut, dan sebagainya.
Setelah selesai, mereka kembali ke kelas dan menyempurnakan catatan hasil pengamatan mereka. Setiap kelompok berdiskusi menyusun laporan tertulis hasil pengamatannya, kemudian melaporkannya secara lisan di depan kelas. Sebagai penutup setiap kelompok menulis paragraf deskriptif berdasarkan hasil pengamatan dan menempelkan hasilnya di papan tulis.

c. MPL Ekskursi Sehari
MPL ekskursi sehari adalah kegiatan belajar dengan melakukan kunjungan ke suatu objek tertentu atau tempat tertentu dalam waktu satu hari. Para siswa pergi bersama-sama dengan bimbingan guru ke suatu tempat yang telah diprogramkan sebelumnya. Pilihan tempat kunjungan tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran atau diarahkan pada pencapaian kompetensi dasar tertentu.
Sebelum kegiatan ekskursi dilakukan guru telah menentukan beberapa kompetensi dasar yang akan dicapai dalam kegiatan itu. Setiap siswa harus mengambil satu kompetensi dasar atau lebih yang menjadi garapannya ketika ia melakukan ekskursi tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memfokuskan kegiatannya sesuai dengan tugas yang menjadi pilihannya.
Setelah ekskursi selesai, siswa bekerja dalam kelompok yang bidang garapannya sejenis. Kerja siswa tersebut dapat menggunakan waktu di kelas, atau lebih baik jika siswa mengerjakannya di luar jam pelajaran sekolah. Di kelas, siswa tinggal melaporkan hasil kerja kelompok dan mendiskusikannya bersama-sama di kelas. Berdasarkan hasil diskusi tersebut, siswa menyempurnakan laporannya dan memamerkan hasil kerja tersebut dengan menempelkannya di kertas manila untuk di pajang di dinding kelas atau tempat yang telah ditentukan.

d. MPL Proyek
MPL Proyek merupakan model pembelajaran terprogram yang memerlukan waktu agak panjang. Dalam proyek tersebut, diperlukan waktu agak lama karena siswa terlibat dalam kegiatan yang cukup kompleks. Siswa tidak sekedar melakukan pengamatan, tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan lainnya sebagai konsekuensi dari hasil pengamatannya itu.
Dalam proyek ini, mungkin sekali siswa menemukan berbagai persoalan dan berusaha untuk mencari jalan pemecahannya. Berdasarkan temuannya itu, siswa diminta untuk melakukan kegiatan seminar untuk menyampaikan berbagai problema yang dihadapi dan upaya pemecahannya. Karena itu, MPL ini dalam penggarapannya dapat dilakukan melalui proses konsultasi dan tutorial, yang selanjutnya dikembangkan dalam proyek seminar hasil pengamatan.

3. Perencanaan dan Pelaksanaan MPL
• Guru perlu menjelaskan kepada siswa apa dan mengapa MPL penting untuk dilakukan.
• Guru harus menentukan kompetensi dasar yang akan dicapai melalui MPL.
• Guru harus menentukan objek pengamatan sesuai dengan kompetensi dasar yang telah ditentukan.
• Guru harus menyiapkan format-format pengamatan sesuai dengan objek yang akan diamati.
• Guru mengajari siswa cara menentukan objek pengamatan yang sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai.
• Guru harus memberikan pengalaman belajar sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai.
• Guru membantu siswa dalam presentasi hasil kerja mereka, misalnya, menyiapkan peralatan/ATK.
• Guru harus mempersiapkan format penilaian.
• Guru memberi waktu kepada siswa untuk merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan.

4. Aku Ingin Cerita Lagi
Aduuhh Mak ….. Dicecar Setumpuk PR!
Pemberian PR yang berlebihan pada anak bukan mustahil dapat berdampak buruk melebihi dari yang diperkirakan. Bila dikaitkan dengan era informasi yang semakin santer, terlalu banyak PR dapat mengurangi peluang anak anak untuk membaca pengetahuan lain, dapat mengurangi jatah anak untuk belajar keterampilan hidup, misalnya, bermain, mencari ikan, bermain layang-layang, dan sebagainya.
Ada alkisah anak seorang teman yang belajar di Australia. Suatu hari anak itu mau ke perpustakaan. Rupanya dia mendapat PR dari gurunya.
“You dapat tugas apa?” Tanya ayah.
“Saya mau bikin esai,” jawab anaknya dengan nada gembira.
“Tentang apa?”
“Saya memilih topik bulan.”
“Lalu?”
“Saya mau ke perpustakaan, mau cari buku yang menulis tentang bulan,” katanya kemudian berpamitan.
“Bagus, selamat belajar!”
Anak itu bergegas menuju perpustakaan, seperti ikan kehausan ia mengumpulkan buku-buku dan artikel tentang bulan.
Nah, terasa bukan perbedaannya? Agaknya, yang terpenting bukan seberapa banyak PR yang harus diberikan, atau tidak perlu memperdebatkan apakah PR itu perlu atau tidak. Namun, apakah tugas yang diberikan itu merangsang gairah belajar anak atau tidak, atau justru membuat anak apriori dengan kegiatan belajar.
Sudah saatnya kita mencari terobosan baru untuk membantu anak belajar lebih pintar, bukan dengan belajar yang lebih lama.

C. Model Pembelajaran Kooperatif

1. Potret Buram Sekolah Kita
Ssstt…? Jangan bekerja sama!
Ketika seorang guru menjaga ulangan, selalu terdengar kalimat instruktif: “Ssstt…jangan ramai. Kerjakan sendiri-sendiri. Awas kalau ketahuan nyontek saya sobek pekerjaannya. Juga jangan coba-coba kerja sama.” Siswa pun jadi mungkret.
Sejak kecil anak-anak sekolah dididik mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri. Anak menjadi terbiasa menulis jawaban sambil menelungkupi bukunya erat-erat, khawatir dicontek oleh tetangga sebangkunya.
Untuk kepentingan ini kita bisa bersembunyi pada konsep dasar pendidikan yang kuat, yaitu ingin menanamkan kemandirian pada anak. Anak harus mampu mandiri, tidak bergantung pada siapa saja, sehingga ini akan berguna bagi kehidupan anak nantinya. Tentu, pemikiran ini adalah pemikiran yang tidak keliru. Hanya masalahnya, kalau kita selalu menekankan pada kemandirian, dengan mangabaikan pada pentingnya melatih kerja sama, kini kita menuai hasilnya. Konsep gotong royong hanya dikenal ketika kita kerja bakti membersihkan selokan atau siskamling. Konsep jamaah hanya dikenal ketika kita sholat. Begitu salam, keluar masjid atau mushala kita mencari sandal sendiri-sendiri dan pulang menelusuri jalan masing-masing.
Kalau kita punya waktu, sesekali kita duduk bersama dengan anak-anak kita asyik nonton film kartun. Dalam cerita petualang berjudul apa pun segera terasa kental aspek kerja samanya. Ini merupakan pergeseran dari film-film sebelumnya yang mengandalkan tokoh tunggal super hero, seperti Rambo, Popeye, Woody, dan sebagainya. Dalam kartun sekarang tokohnya rata-rata 5 orang. Ketika menghadapi monster yang jahat dan tangguh, mereka segera memadukan kekuatan. “Kita bergabung!” bergaung menghadapi bersama-sama. Tengok saja: Power Rangers, Timeforce Rangers, Ultra Man 3, Kura-kura Ninja, Pakemon, dan sebagainya.
Era mendatang adalah masa yang menuntut kerja sama untuk pemecahan masalah. Budaya masa depan adalah budaya jaringan. Pada era global, kerja tim lebih diperlukan daripada kerja individu. Model-model jaringan (network), kerja sama horisontal, sinergi dengan banyak pihak dengan prinsip saling menguntungkan lebih disukai daripada pendekatan sentralistik. Karena itu, yang cocok dikembangkan adalah budaya jaringan.
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, untuk mencapai kompetensi dasar apa pun akan lebih mudah jika dilakukan secara gotong royong. Siswa akan lebih mudah dan lebih ringan dalam menyusun suatu laporan jika mereka bekerja secara berkelompok. Siswa akan memiliki wawasan yang lebih tajam dalam mengkritik suatu pendapat jika mereka mendapatkan sumbangan pemikiran dari semua anggota kelompok. Tulisan deskriptif akan lebih lengkap paparannya jika setiap anggota kelompok menyumbangkan hasil pengamatannya yang beragam. Naskah pidato akan lebih kaya isinya jika dikerjakan dan dipikirkan bersama oleh anggota kelompok. Dalam menemukan nilai-nilai suatu karya sastra akan lebih cepat dan lebih mudah jika berbagi tugas pada setiap anggota. Hampir semua kompetnsi dasar dalam kurikulum dapat dicapai dengan lebih mudah melalui kerja kelompok, dengan prinsip setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Berlandaskan pada prinsip inilah, dalam makalah ini diperkenalkan suatu model pembelajaran dengan cara gotong royong saling menguntungkan, yakni Model Pembelajaran Kooperatif (MPK).

2. Lima Unsur MPK
Roger dan Johnson menjelaskan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Ada lima unsur model yang harus diterapkan untuk bisa dikatakan model pembelajaran yang kooperatif. Kelima unsur tersebut adalah sebagai berikut.
• Saling Ketergantungan Positif: semua anggota kelompok bekerja secara sinergis dalam mengembangkan kelompoknya. Dalam hal ini, guru harus memberikan tugas yang berbeda-beda untuk setiap anggota kelompok, sehingga setiap anggota kelompok bergantung dan bertanggung jawab terhadap anggota yang lainnya dalam kelompok itu. Termasuk untuk menciptakan saling ketergantungan ini adalah cara penilaian yang unik. Setiap siswa selain mendapat nilai individual juga mendapat nilai dari kelompoknya. Besarnya nilai kelompok bergantung pada sumbangan yang diberikan oleh setiap individu, yakni selisih nilai tes dari nilai rata-rata yang diperoleh individu.
• Tanggung Jawab Perseorangan: dengan tugas yang berbeda-beda, setiap anggota kelompok bertanggung jawab menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya untuk dilaporkan kepada teman-teman sekelompoknya.
• Tatap Muka: setiap anggota kelompok berkesempatan untuk menyampaikan hasil kerjanya.
• Kemunikasi Antaranggota: Komunikasi dalam kelompok harus merata pada setiap individu anggota kelompok, tidak boleh didominasi oleh siswa tertentu.
• Evaluasi Proses Kelompok: untuk melakukan refleksi apakah kerja kelompoknya sudah baik atau perlu ada perbaikan. Refleksi ini tidak harus dilakukan pada setiap kerja kelompok, tapi dapat dilakukan secara berjangka.

3. Pengelolaan Kelas MPK
• Pengelompokan: dalam hal ini pengelompokan siswa dilakukan secara heterogen, bukan homogen atas dasar kesetaraan kemampuan (ability grouping). Hal ini didasarkan pada satu prinsip bahwa kelas adalah miniatur masyarakat.
• Semangat Gotong Royong: hal ini bisa dibangun jika setiap anggota kelompok menyadari kesamaan yang mereka miliki. Dengan penyadaran ini, mereka akan lebih saling mengenal temannya. Cara lain yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan semangat gotong royong ini adalah pemberian identitas kelompok oleh kelompok yang bersangkutan, serta penciptaan sapaan dan sorak kelompok.
• Penataan Ruang Kelas: hal ini bisa dilakukan dengan cara penataan fasilitas yang ada di dalam kelas mempertimbangkan kemudahan untuk melakukan mobilitas dalam kelompok.

4. Teknik MPK
Ada beberapa teknik yang dapat dikembangkan untuk model pembelajaran kooperatif. Dalam kegiatan pembelajaran bahasa, beberapa teknik tersebut dikombinasikan untuk memberikan pengalaman belajar kepada para siswa, sehingga kegiatan pembelajaran di kelas lebih variatif. Teknik pembelajaran yang dimaksudkan adalah sebagai berikut.
a. Mencari Pasangan
• Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi konsep atau topik tertentu (cocok untuk reviu).
• Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
• Siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (CERITA cocok dengan TOKOH UTAMA).
• Siswa dapat juga bergabung dengan dua, tiga, atau lebih siswa lain yang memiliki kartu yang sama.
b. Bertukar Pasangan
• Siswa telah memiliki pasangan masing-masing.
• Guru memberikan tugas untuk dikerjakan oleh setiap pasangan.
• Setelah selesai, setiap pasangan bergabung dengan pasangan yang lain.
• Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan.
• Setiap pasangan yang baru ini menyempurnakan jawabannya.
• Temuan jawaban dari pertukaran pasangan ini dibagikan kepada pasangan semula.
c. Berpikir – Berpasangan – Berempat
• Guru membagi siswa kelompok berempat dan memberi tugas untuk semua kelompok.
• Siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri-sendiri.
• Siswa berpasangan dengan satu rekan dalam kelompoknya dan berdiskusi dengan pasangannya.
• Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat.
d. Berkirim Salam dan Soal
• Guru membagi kelompok berempat.
• Guru menugasi kelompok menyusun pertanyaan yang akan dikirimkan ke kelompok lain (tugas guru mengawasi dan membantu memilihkan soal yang cocok).
• Salah satu anggota kelompok mengirimkan satu utusan yang akan menyampaikan salam dan soal (salam dapat berupa sorak kelompok).
• Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain.
• Setelah selesai jawaban setiap kelompok dicocokkan dengan jawaban pembuat soal.
e. Dua Tinggal Dua Tamu
• Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat.
• Stelah selesai, dua orang keluar untuk bertamu ke kedua kelompok yang lain.
• Dua orang yang tinggal bertugas membagikan hasil kerja kelompok ke tamu mereka.
• Tamu kembali ke kelompoknya semula dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
• Kelompok mencocokkan hasil kerja mereka.

f. Keliling Kelompok
• Setiap anggota kelompok menyampaikan pandangannya.
• Siswa berikutnya juga memberikan kontribusinya.
• Demikian selanjutnya. Giliran bicara bisa mengikuti arah jarum jam.
g. Keliling Kelas
• Siswa bekerja sama dalam kelompok.
• Setiap kelompok memamerka hasil kerja dengan memajangnya.
• Setiap kelompok keliling kelas mengamati dan memberikan komentar hasil kerja kelompok lain.
h. Lingkaran Kecil Lingkaran Besar
• Siswa separoh kelas membentuk lingkaran kecil, dengan menghadap ke luar lingkaran.
• Siswa lainnya membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam sehingga berpasangan dengan siswa di lingkaran kecil.
• Siswa yang berada di lingkaran kecil mulai berbagi informasi kepada pasangannya di lingkaran besar.
• Kemudian, siswa yang berada di lingkaran besar berputar, siswa yang di lingkaran kecil diam, sehingga terjadilah pergantian pasangan.
• Sekarang, siswa yang berada di lingkaran besar ganti membagikan informasi.

5. Cerita Penting
Ken Arok Tewas Tiga Kali
Ini sebuah teka-teki, “Berapa kali Ken Arok Tewas tertusuk keris?” Satu kali! Salah! Jawabnya bukan satu kali, tapi tiga kali. Lho kok? Iya, Ken Arok tewas waktu di SD, lalu tewas lagi di SMP, kemudian terbunuh lagi di SMA.
Apa maksud dari teka-teka itu?
Apakah kita dalam membelajarkan bahasa juga demikian?
Mudah-mudah itu, sekedar joke!

Daftar Rujukan

Depdiknas. 2004. Landasan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. Jakarta: Dirjen
Dikdasmen.
Larsen-Freeman, Diane. 1986. Techniques and Priciples in Language Teaching. Oxford
University Press.
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.
Oka, Johana D. 2003. Neighborhood sebagai Sumber Pembelajaran Bahasa Inggris.
Jakarta: Depdiknas.
Rivers, Wilga M. 1987. Interactive Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Norma Pedagogis dan Analisis Kebutuhan Belajar dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA)

Oleh: Imam Suyitno

Abstract: Teaching-learning process of Indonesian for foreign students (BIPA) has different characteristics with teaching-learning of Indonesian in general. In case, the differences are due to students’ cultural background. An analysis of their learning needs and pedagogical norm of learning language are being requirement of selecting materials and strategies of teaching-learning BIPA. The results of analysis on students entry level, students learnings style, and students learning objective will direct teachers in selecting language teaching materials and language teaching strategies. Beside that, materials and strategies of language teaching are also influented by pedagogical norm that followed by teachers.

Keywords: needs analysis, pedagogical norms, teaching materials, and teaching strategies


PENDAHULUAN
Pembelajaran BIPA memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan posisi Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi salah satu sasaran kunjungan orang-orang asing. Dengan dibukanya pasar kerja di Indonesia, hal ini memperbesar peluang bagi orang asing untuk memasuki berbagai lapangan kerja di Indonesia. Mereka berupaya mempelajari bahasa Indonesia agar dapat berkomunikasi lebih baik dengan pejabat, sejawat, karyawan, ataupun masyarakat umum di Indonesia (Sammeng, 1995). Kenyataan ini menjadi tantangan bagi penyelenggara BIPA yang menuntut pemikiran dan penanganan secara sungguh-sungguh pelaksanaan program pembelajaran BIPA.
Dalam upaya penanganan program BIPA, perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh tentang norma pedagogis yang akan digunakan sebagai panduan dalam pembelajaran. Norma pedagogis ini akan mengarahkan pada pemilihan dan penpengajartan materi ajar untuk kepentingan pembelajaran BIPA. Prinsip-prinsip pemilihan tersebut menjadi hal yang penting bagi pengajar BIPA dan pengembang materi dalam upaya menggabungkan aspek-aspek bahasa ke dalam program pembelajaran dan menyampaikannya kepada pelajar. Norma pedagogis tersebut melibatkan kajian terhadap norma penggunaan bahasa yang aktual dan implementasinya pada tujuan pedagogis, yakni mulai dari perancangan materi buku teks sampai pada penciptaan aktivitas kelas sehari-hari (periksa Bardovi-Harlig dan Gass, 2002).
Penentuan norma pedagogis pembelajaran BIPA tidak dapat dilepaskan dari analisis kebutuhan belajar pelajar BIPA. Bila dilihat dari kondisi pelajarnya, pembelajaran BIPA di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya. Pelajar BIPA adalah pelajar asing yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan budaya bahasa yang dipelajarinya. Selain itu, kebanyakan pelajar BIPA di Indonesia adalah pelajar dewasa. Sesuai dengan kenyataan tersebut, Wojowasito (1976:38) menjelaskan bahwa perbedaan terpenting antara pembelajaran BIPA dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya adalah (1) BIPA tidak mengintegrasikan pelajar ke dalam lingkungannya, (2) BIPA hampir dipelajari pada usia dewasa atau pada ketika seseorang telah menguasai sejumlah struktur dari bahasa pertamanya, dan (3) BIPA diolah di luar sistemnya sendiri.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran BIPA, ada beberapa sifat yang harus diperhatikan. Pertama, pelajar BIPA sudah memiliki cukup banyak pengetahuan dan wawasan, sehingga kebutuhan mereka juga kebutuhan orang dewasa bukan lagi kebutuhan anak-anak. Yang kedua, bahwa orang asing (orang Barat) suka mengekpresikan diri, mempresentasikan sesuatu, mengemukakan pendapat, sehingga tugas di luar kelas akan sangat menarik. Terakhir, untuk mengakomodasi minat dan kebutuhan yang mungkin berbeda dari yang satu dengan yang lain perlu disiapkan materi yang bervariasi (periksa Soegino,1995:6).
Bertolak dari uraian di atas, dalam upaya memahami norma pedagogis yang sejalan dengan kebutuhan belajar pelajar asing, dalam uraian berikut ini, disajikan pembahasan tentang (a) kondisi awal pelajar BIPA, (b) norma pedagogis pemilihan materi pembelajaran BIPA, (c) pendekatan pembelajaran BIPA, dan (d) teknik pembelajaran BIPA.

KONDISI AWAL PELAJAR BIPA
Pelajar BIPA adalah pelajar asing yang berasal dari berbagai negara. Karena itu, mereka memiliki latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda dengan bahasa dan budaya Indonesia. Selain itu, mereka juga memiliki latar belakang pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia yang bervariasi. Bahkan, gaya dan strategi belajarnya pun sangat bervariasi dan sangat bergantung pada budaya mereka masing-masing.
Dalam pembelajaran BIPA, perbedaan bahasa dan budaya pelajar asing memiliki konsekuensi pada pemilihan materi bahasa Indonesia yang akan diajarkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ellis (1986:19) bahwa pemerolehan bahasa kedua dipengaruhi secara kuat oleh bahasa pertama. Lebih lanjut, Lee (dalam Ellis, 1986:23) mengatakan bahwa satu-satunya penyebab kesulitan dan kesalahan dalam belajar bahasa kedua atau bahasa asing adalah pengaruh bahasa pertama pelajar. Dari pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa pemerolehan bahasa kedua ditandai oleh adanya interferensi dari bahasa pertama. Interferensi ini lambat laun akan berkurang, yang akhirnya pelajar mencapai penguasaan bahasa kedua mirip dengan penutur asli.
Pelajar BIPA memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda, mulai pelajar yang tingkat pemula sampai dengan pelajar tingkat lanjut. Perbedaan tersebut berimplikasi pada pemilihan materi ajar BIPA yang lebih bervariasi. Keberagaman materi tersebut dimaksudkan untuk mempermudah dan memperlancar pelajar BIPA dalam menguasai materi ajar BIPA. Kebutuhan materi BIPA sebagaimana dikemukakan dalam kondisi di atas mengundang para penulis buku untuk mengembangkan materi ajar BIPA. Sudiroatmadja (1993) mencatat ada beberapa penulis buku, baik penulis asing maupun penulis Indonesia yang menulis bahasa Indonesia untuk orang asing. Satu tujuan yang hendak mereka capai ialah mempermudah pelajar menguasai bahasa Indonesia.
Pelajar BIPA pada umumnya adalah pelajar dewasa. Sejalan dengan kedewasaan pelajar asing tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan materi BIPA. Yang pertama, orang dewasa sudah memiliki cukup banyak pengetahuan dan wawasan, sehingga kebutuhan mereka juga kebutuhan orang dewasa bukan lagi kebutuhan anak-anak. Oleh karena itu, topik-topik aktual yang ingin mereka pelajari adalah topik umum seperti masalah lingkungan, hubungan antarmanusia, energi, peristiwa dunia, dan sebagainya. Yang kedua, orang asing (orang Barat) suka mengekpresikan diri mereka, mempresentasikan sesuatu, mengemukakan pendapat, sehingga tugas di luar kelas atau membuat proyek kecil-kecilan akan sangat menarik. Terakhir, untuk mengakomodasi minat dan kebutuhan yang mungkin berbeda dari yang satu dengan yang lain, diperlukan kesiapan materi yang bervariasi.
Tujuan pelajar asing belajar BIPA adalah untuk memperlancar berbahasa Indonesia dan mengenal budaya Indonesia dari dekat. Kelancaran berbahasa Indonesia tersebut diperlukan oleh mereka karena (a) mereka mengambil program tentang Indonesia di universitas asalnya, (b) mereka akan melakukan penelitian di Indonesia, (c) mereka akan bekerja di Indonesia, (d) mereka akan meneliti masalah bahasa Indonesia, dan (e) mereka akan tinggal di Indonesia dalam waktu lama. Gambaran tentang tujuan belajar BIPA tersebut berimplikasi pada penyiapan materi belajar yang sesuai dengan tujuan tersebut. Dengan demikian, materi pembelajaran BIPA ini memiliki kaitan yang erat dengan masalah pemenuhan kebutuhan pelajar asing.
Hal di atas sejalan dengan pendapat Mackey dan Mountford (dalam Sofyan, 1983) yang menjelaskan bahwa ada 3 kebutuhan yang mendorong seseorang belajar bahasa, yakni (1) kebutuhan akan pekerjaan, (2) kebutuhan program latihan kejuruan, dan (3) kebutuhan untuk belajar. Temuan tersebut juga sejalan dengan pendapat Hoed (1995) yang menyatakan bahwa program BIPA bertujuan untuk (1) mengikuti kuliah di perpengajaran tinggi Indonesia, (2) membaca buku dan surat kabar guna keperluan penelitian, dan (3) berkomunikasi secara lisan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Ketiga tujuan itu masing-masing masih dapat dipecah lagi menjadi beberapa tujuan khusus, misalnya, untuk mengikuti kuliah di perpengajaran tinggi di Indonesia memerlukan pengetahuan bahasa Indonesia sesuai dengan bidang ilmu yang diikuti (ilmu sosial, ilmu teknik, ekonomi, dan sebagainya). Begitu pula, untuk keperluan penelitian tergantung dari bidang apa yang akan diteliti. Untuk belajar bahasa Indonesia lisan guna keperluan komunikasi dengan penduduk diperlukan pula pengkhususan, misalnya komunikasi formal atau informal. Berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan pembelajaran tersebut, materi BIPA dipilih dan disusun untuk pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan itu.

NORMA PEDAGOGIS DALAM PEMILIHAN MATERI AJAR BIPA
Norma pedagogis pembelajaran bahasa secara signifikan mengarahkan pengajar dalam pemilihan materi bahasa yang akan diajarkan. Norma pedagogis belajar bahasa yang mengarah pada pengajaran tatabahasa, dalam pemilihan materi ajar diutamakan pada penonjolan kaidah, yakni pengurangan variasi bahasa melalui pemilihan fitur-fitur bahasa yang paling umum dan netral. Atas dasar norma tersebut, pengajaran bahasa menggunakan metode auidio-lingual. Materi ajar bahasa yang dipilih adalah fitur bahasa yang (a) memiliki frekuensi penggunaan dan keberterimaan yang tinggi, (b) digunakan secara luas, (c) tidak terlalu kompleks untuk dipelajari, dan secara bertahap berubah ke arah fitur yang jarang digunakan, lebih sempit penggunaannya, dan lebih kompleks variannya (Valdan dalam Magnan dan Walz, 2002).
Lebih lanjut, pembelajaran bahasa dipengaruhi oleh prinsip-prinsip interaksi sosiolinguistik. Prinsip ini mengarahkan pada pembelajaran bahasa secara komunikatif. Norma pedagogis ini menyarankan pemilihan dan penataan urutan fitur linguistik yang diprioritaskan pada fitur instruksi. Data bahasa yang digunakan sebagai bahan ajar adalah data ujaran penutur asli dalam berbagai konteks sosial dan dari pelajar bahasa. Prioritas pada koreksi kesalahan masih menjadi kriteria yang dipertentangkan. Dalam kaitannya dengan koreksi kesalahan, pengajar perlu mempertimbangkan (a) pengaruh kesalahan pada keterpahaman pesan, (b) tingkat kesalahan tersebut jika diukur dari tingkat kesalahan yang dialami penutur asli, dan (c) hubungan antara kesalahan dan keadaan sistem pelajar.
Atas dasar kajiannya pada aspek-aspek sosiolinguistik dan psikolinguistik dari ragam bahasa, Valdan menyarankan bahwa materi bahasa yang dipilih sebagai materi ajar seharusnya (a) mencerminkan ujaran aktual penutur bahasa target dalam situasi komunikatif yang otentik, (b) sesuai dengan penggunaan bahasa yang diidealkan oleh penutur asli, (c) sesuai dengan harapan penutur asli dan pelajar asing yang berkeenaan dengan tipe perilaku bahasa yang sesuai untuk pelajar asing, dan (d) memperhitungkan faktor proses dan pembelajaran. Lebih lanjut, Valdan memperluas kajiannya pada fokus variasi sosiopragmatik dan sosiostilistik. Untuk itu, norma pedagogik pengajaran bahasa menekankan pada makna, fungsi, dan konteks.
Sejalan dengan norma pedagogis yang di uraikan di atas, materi bahasa yang dikembangkan dalam pembelajaran BIPA didasarkan pada tingkat kemampuan bahasa Indonesia pembelajarnya. Untuk tingkat pemula diberikan materi bahasa di antaranya adalah kata sapaan, ungkapan keseharian sederhana, kalimat sederhana, kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat negatif, preposisi, kata/kalimat tanya, kata bilangan, dan afiksasi (me(N)-, me(N)-kan, me(N)-i, se-nya, di-, di-kan, di-i, ber-, ter-, dan pe(N)-). Untuk tingkat tingkat menengah diberikan materi bahasa di antaranya adalah ungkapan dalam bahasa Indonesia, kalimat kompleks, kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat negatif, kalimat transitif dan intransitif, preposisi, kalimat tanya, dan afiksasi (me(N)-, me(N)-kan, me(N)-i, se-nya, di-, di-kan, di-i, ber-, ter-, dan pe(N)-, pe(N)-an, per-an, ber-an, memper-kan, member-kan,). Adapun untuk tingkat lanjut, materi yang disajikan pada pokoknya hampir sama dengan materi untuk tingkat menengah, hanya saja dari tingkat kekompleksannya yang berbeda.
Untuk tingkat lanjut, penekanannya lebih pada pemahaman secara analitis terhadap materi bahasa. Kepada pelajar, selain diberikan materi-materi tersebut, banyak juga diberikan materi-materi analisis, yakni menganalisis kalimat salah dan membenarkannya serta mengubah pola kalimat tanpa mengubah maknanya. Materi menyimak dan wicara dikembangkan dengan menggunakan materi dialog, mulai dari dialog yang sangat sederhana (misalnya: salam) sampai dengan dialog yang sangat kompleks dan formal (misalnya: seminar). Materi dialog ini dalam praktek pembelajarannya sekaligus dimanfaatkan untuk materi pembelajaran menyimak. Dengan demikian materi pembelajaran menyimak dan wicara dikemas dalam satu wujud materi.
Selain materi yang berbentuk dialog, dalam pembelajaran menyimak, juga memanfaatkan wacana yang ada dalam kegiatan berbahasa sehari-hari, misalnya menyimak berita atau percakapan yang ada di televisi, radio, maupun percakapan sehari-hari. Materi-materi tersebut disajikan kepada pelajar sesuai dengan tingkat kemampuannya. Untuk tingkat pemula, disajikan materi-materi dialog keseharian sederhana dalam bahasa Indonesia. Untuk tingkat menengah diberikan materi dialog keseharian yang agak kompleks dan dialog-dialog formal yang sederhana. Adapun untuk tingkat lanjut diberikan materi-materi dialog yang lebih kompleks baik berkaitan dengan topik keseharian maupun topik formal.
Pengembangan materi membaca dan menulis disesuaikan dengan tingkat kemampuan pelajarnya. Untuk tingkat pemula diberikan bacaan dalam bahasa Indonesia yang sederhana, untuk tingkat menengah diberikan bacaan dalam bahasa Indonesia yang agak kompleks, dan untuk tingkat lanjut diberikan bacaan bahasa Indonesia yang kompleks. Meteri-materi bacaan sederhana banyak diambilkan dari bacaan yang ada di majalah anak-anak, bacaan yang ada pada buku bahasa Indonesia di sekolah dasar, atau bacaan yang disusun sendiri oleh pengajar. Adapun bacaan untuk tingkat mengah dan tingkat lanjut dapat menggunakan bacaan yang ada di surat kabar atau pun majalah. Adapun untuk materi menulis dimulai dari menulis kalimat, menulis topik sederhana tentang pengalamannya atau apa yang telah dilakukkannya sampai dengan menulis makalah untuk diseminarkan dalam seminar di kelasnya.
Pengembangan materi budaya diarahkan pada pembekalan budaya pada pelajar asing untuk kehidupannya sehari-hari di masyarakat. Pokok-pokok materi yang perlu diberikan pada pelajar adalah tentang bagaimana hidup dalam keluarga, berteman, bermasyarakat, dan sopan-santun dalam pergaulan. Yang prinsip dalam pemberian materi budaya ini adalah membekali pelajar BIPA agar mampu berbahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Dalam pembelajaran bahasa asing, budaya dapat diajarkan melalui karya sastra karena karya sastra merupakan hasil pemikiran penulis yang merupakan hasil kontak diri penulis, baik disadari maupun tidak, dengan realitas sosial dan pola budaya. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah cara menentukan karya sastra yang mencerminkan pola dan indikator budaya yang ingin diajarkan kepada pembelajar bahasa asing. Karya sastra memang bisa digunakan untuk mengajarkan budaya ideosinkratik lokal yang berperan dalam membentuk budaya universal. Karena itu, yang diajarkan kepada pembelajar bahasa seharusnya bukan hanya budaya universal akan tetapi juga perlu diperhatikan budaya lokal (periksa Seelye, 1994).
Salah satu alternatif untuk mengajarkan bahasa melalui analisis karya sastra bagi guru yang ingin mendapatkan pemahaman antropologis tentang budaya tetapi tidak memiliki latar belakang orientasi empiris tentang ilmu sosial adalah melalui folklor. Menurut Taylor, folklor adalah materi yang mewariskan tradisi, baik melalui kata-kata maupun adat dan kebiasaan yang bisa berupa nyanyian rakyat, cerita rakyat, peribahasa, atau materi lain yang disajikan melalui kata-kata.. Folklor juga bisa berupa alat-alat tradisional dan objek-objek fisik seperti pagar dan tali, ornamen tradisional, simbol-simbol tradisional seperti swastika.
Pengembangan dan penataan materi perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan pelajarnya. Karena itu, pengelolaan materi pembelajaran BIPA perlu memperhatikan tiga hal, yakni (1) orientasi materi hendaknya diarahkan dan dititikberatkan pada materi-materi yang (a) dapat dipakai dan berpotensi untuk dilatihkan, (b) benar-benar ada dan dipakai dalam komunikasi nyata di masyarakat, dan (c) mampu mengembangkan kompetensi untuk berlatih dan memahami pola serta mampu mengembangkan pemahaman bahasa Indonesia melalui bentuk-bentuk percakapan/dialog yang situasional-kontekstual; (2) rentangan dan penataan materi diupayakan pada materi yang mengacu pada aspek-aspek yang menentukan bagaimana bahasa Indonesia digunakan, yakni aspek-aspek: (a) kosa kata, (b) pola kalimat, (c) wacana/percakapan, (d) lafal/ucapan dan intonasi, dan (e) pengolahan ide; dan (3) materi-materi pembelajaran perlu ditata berdasarkan unit-unit satuan ujaran yang komunikatif secara terpadu (periksa Suyitno, 2005).


PENDEKATAN PEMBELAJARAN BIPA
Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran BIPA dititikberatkan pada penggunaan bahasa daripada penjelasan tatabahasa. Pengajar dalam pembelajaran lebih banyak memfungsikan dirinya sebagai mitra bicara bagi siswanya. Dalam hal ini, pengajar memberikan latihan pemakaian bahasa untuk berkomunikasi. Untuk itu, materi pembelajaran diwujudkan dalam bentuk keterampilan berbahasa.
Dalam pembelajaran BIPA, bahasa Indonesia ditempatkan sebagai alat komunikasi, bukan sebagai materi bahasa yang dihafalkan atau dianalisis. Bahasa Indonesia difungsikan sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun tulis. Karena itu, dalam pembelajaran BIPA, tujuan yang ingin dicapai adalah kemampuan pelajar untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dipelajarinya. Dengan demikian, pelajar diharapkan dapat memiliki kemampuan komunikatif.
Sejalan dengan harapan tersebut, dalam pembelajaran BIPA, ditekankan kepada pelajar BIPA tentang (1) pengetahuan tentang bentuk bahasa yang mungkin dikatakan, (2) pengetahuan tentang kata yang dapat dituturkan dan dapat dipahami oleh pendengar, (3) pengetahuan tentang kata yang sesuai dan wajar menurut konteksnya, dan (4) pengetahuan tentang kata yang pernah diujarkan orang. Dengan penguasaan keempat hal tersebut, seseorang akan dapat berbahasa secara berterima.
Berdasarkan pada perolehan hasil belajar yang ditargetkan, dalam pengajaran BIPA, ancangan yang dipilih adalah acangan komunikatif. Seperti halnya ancangan-ancangan lain, ancangan komunikatif memiliki asumsi tentang hakikat bahasa dan belajar bahasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Richard dan Rodgers (1983) yang menjelaskan bahwa asumsi ancangan komunikatif tentang hakikat bahasa adalah (1) bahasa merupakan sistem dalam pengungkapan makna, (2) bahasa adalah alat bagi manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi, (3) struktur bahasa mencerminkan fungsi penggunaannya dan fungsi komunikatifnya, dan (4) unit utama bahasa bukan hanya berupa unit gramatikal melainkan juga fungsi dan makna komunikasi. Lebih lanjut, Richard dan Rodgers (1983) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan belajar bahasa ancangan komunikatif mengajukan tiga prinsip, yakni (1) belajar bahasa terjadi apabila kegiatan itu berlangsung dalam suatu komunikasi yang nyata, (2) dalam kegiatan komunikasi seperti ini, bahasa nyata-nyata digunakan, dan (3) penggunaan bahasa yang nyata inilah yang bagi pelajar bermakna atau fungsional.
Dalam kaitannya dengan ancangan komunikatif, Van Eck (dalam Machmoed, 1990) menjelaskan bahwa pengajaran bahasa dengan ancangan komunikatif memerlukan komponen-komponen berikut ini dalam penentuan tujuan pengajaran bahasa, yakni (1) situasi yang melatarbelakangi penggunaan bahasa, meliputi peranan pembicara, latar, dan pokok bahasan yang dibicarakan; (2) kegiatan kebahasaan apa yang kelak perlu dilaksanakan oleh pelajar; (3) fungsi bahasa yang akan dilaksanakan pelajar dalam penggunaan bahasanya kelak; (4) apa yang dapat dilaksanakan pelajar terhadap setiap pokok bahasan; (5) nosi umum apa yang akan dapat ditangani oleh pelajar; (6) konsep khusus apa yang ditangani oleh pelajar kelak; (7) bentuk bahasa apa yang dipakai oleh pelajar; dan (8) tingkat keterampilan yang kelak dapat dimanifestasikan oleh pelajar. Program pengajaran dengan tujuan tersebut memerlukan kegiatan dan proses belajar yang bervariasi, yang dapat membantu pelajar mencapai perangkat tujuan tersebut.

TEKNIK PEMBELAJARAN BIPA
Dalam kaitannya dengan teknik pembelajaran BIPA, ada beberapa hal yang dikaji, yaitu (1) teknik penyampaian materi, (2) teknik menghadapi pelajar, dan (3) teknik penciptaan suasana belajar. Teknik penyampaian materi dibagi dalam 3 tahap, yakni teknik membuka pelajaran, teknik menyampaian materi baru, dan teknik menutup pelajaran.
Ada beberapa teknik yang dilakukan pengajar dalam memulai pelajaran di kelas, di antaranya adalah (1) memberi salam (greetings), (2) menanyakan keadaan/situasi di tempat tinggal, (3) menanyakan perasaannya, (4) menanyakan kegiatan yang telah dilakukannya, (5) menanyakan tentang waktu (tidur, mimpi, bangun, berangkat sekolah, dsb.), (6) bercerita apa yang telah dilakukan (pengajar), (7) bertanya dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang telah diberikan hari sebelumnya, (8) menanyakan sesuatu yang dibawa atau yang ada pada pelajar, (9) merespon pernyataan/pertanyaan yang sejak awal disampaikan pelajar, (10) menjelaskan hal-hal apa yang akan dilakukan hari itu atau selanjutnya (periksa Suyitno, 2004: 36).
Teknik-teknik tersebut banyak digunakan pengajar dalam memulai pelajaran di kelas. Teknik tersebut bertujuan untuk menciptakan suasana yang akrab dan hangat sebelum memulai pelajaran. Selain itu, teknik semacam ini dapat dimanfaatkan untuk melatih pelajar berani berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang dipelajarinya. Dengan demikian, pengajar dapat mengetahui seberapa banyak kata yang telah dikuasai oleh pelajar, pada masalah apa dia mengalami kesulitan, hal-hal apa yang perlu diulangi. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari teknik memulai pelajaran dengan cara seperti ini adalah pengajar dapat memberikan tambahan kata-kata yang sesuai dengan kebutuhan pelajar saat itu, dan kata-kata yang demikian inilah yang sebenarnya fungsional bagi pelajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Richard dan Rodgers (1983) yang menjelaskan bahwa (1) belajar bahasa terjadi apabila kegiatan itu berlangsung dalam suatu komunikasi yang nyata, (2) dalam kegiatan komunikasi seperti ini, bahasa nyata-nyata digunakan, dan (3) penggunaan bahasa yang nyata inilah yang bagi pelajar bermakna atau fungsional.
Teknik yang digunakan oleh pengajar dalam menyajikan materi pada dasarkan menggunakan teknik celup total. Pengajar berusaha sedapat mungkin tidak menggunakan bahasa Inggris. Berbagai cara yang digunakan untuk penyajian materi tersebut diantaranya adalah cara tanya jawab, pelatihan, penugasan, demonstrasi, pemberian konsultasi baik kelompok maupun individual, tutorial, penubian (drill), dan koreksi. Cara yang demikian ini dalam penyajian materi baru dilakukan dalam kegiatan sebagai berikut.
1) Materi yang berupa dialog: (a) pengajar membacakan dialog kemudian pelajar menirukan (cara ini terutama untuk tingkat pemula, untuk tingkat menengah dan tingkat lanjut pengajar tidak perlu memberi contoh), (b) pengajar menunjuk beberapa pelajar untuk membaca teks dialog tersebut, (c) pengajar melatihkan pelafalan kata-kata secara tepat, (d) pengajar menugasi pelajar secara berpasangan memerankan apa yang ada dalam teks dialog, (e) pengajar meminta pelajar menutup buku kemudian merespon pertanyaan/pernyataan pengajar yang diambil dari teks dialog, (f) pengajar menugasi pelajar melakukan dialog dengan menggunakan kata-kata bebas sesuai dengan topik yang ada dalam teks dialog yang baru dipelajarinya, (g) pengajar memberikan kesempatan pada pelajar menanyakan kata-kata sulit yang ada dalam teks dialog, (h) pengajar meminta pelajar membuat kalimat dengan kata-kata baru yang ada dalam dialog, dan (i) pengajar menugasi siswa mengerjakan latihan-latihan baik secara lisan.
2) Materi yang berupa bacaan: (a) pengajar menyampaikan penjelasan awal tentang isi bacaan (pre-reading), (b) pengajar bertanya-jawab dengan pelajar tentang hal-hal yang ada dalam bacaan, (c) pengajar menyuruh pelajar membaca bacaan per paragraf, dan mengecek pemahamannya tentang isinya, (d) pengajar menanyakan apakah ada kata-kata sulit; dan (e) pengajar menugasi pelajar untuk mengerjakan latihan-latihan dan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan.
3) Materi yang berupa tatabahasa: materi yang berupa tatabahasa disajikan dalam bentuk latihan-latihan. Oleh karena itu, pelajar langsung diminta mengerjakan latihan-latihan tatabahasa. Jika ada kesulitan yang dihadapi oleh pelajar, pengajar baru menjelaskannya. Penjelasan yang disampaikan oleh pengajar bukan penjelasan dari segi ilmu bahasa, tapi penjelasan tentang bagaimana seharusnya kata digunakan dalam berbahasa.
Dalam pelaksanaan teknik celup ini, pengajar berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menggunakan bahasa Inggris kepada pelajar. Demikian juga pelajar, dianjurkan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jika mereka sekali diberi kesempatan untuk berbahasa Inggris, maka mereka akan selalu meminta penjelasan dalam bahasa Inggris. Hal ini sesuai dengan saran Wolff, dkk. (1988) yang menyarankan bahwa bahwa pengajar BIPA perlu memperhatikan teknik berikut dalam mengajarkan BIPA, yakni (1) berbicaralah kepada pelajar dengan bahasa Indonesia, (2) pakailah kata-kata, bentukan-bentukan, kalimat-kalimat dan tata bahasa yang sudah diketahui pelajar, (3) janganlah memberikan peluang dan keleluasaan kepada pembelajar untuk berbahasa Inggris, sekalipun mereka belum bisa menyampaikan maksudnya dengan bahasa Indonesia yang baik, (4) berbicaralah secara wajar, (5) bila pelajar mengucapkan kalimat yang salah katakanlah kalimat yang dimaksudkan dengan betul, kemudian suruhlah mereka mengulanginya, (6) kesalahan yang dilakukan oleh pelajar hendaklah disikapi sebagai kesalahan bersama, (7) penjelasan tentang kata-kata atau istilah-istilah hendaknya didasarkan pada aspek sosiosemantis dengan mengefektifkan penggunaan contoh-contoh, dan (8) apabila pelajar menemui kesulitan dalam pelatihan (ucapan dan penangkapan) kalimat-kalimat panjang, potong- potonglah kalimat tersebut dalam satuan-satuan bermakna mulai dari ujung kalimat.
Teknik penyajian materi tidak saja dilakukan di dalam kelas, tapi juga dilakukan di luar kelas. Teknik yang ditempuh dalam penyajian materi melalui kegiatan di luar kelas ini di antaranya melalui kegiatan tugas luar (ke bank, ke studio foto, ke pasar), bertamu, wawancara dengan mahasiswa Indonesia, kunjungan ke tempat-tempat wisata, melihat benda-benda kerajinan (wayang, keramik, topeng), melihat pertunjukkan, menyaksikan upacara adat (pernikahan, kemati-an), dan sebagainya. Cara yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Surajaya (1995) yang mengemukakan bahwa kiat-kiat yang dapat dilakukan dalam pengajaran BIPA, yakni (1) kiat kuliah, (2) kiat penjelasan dengan contoh benda budaya, (3) kiat demonstrasi dan partisipasi aktif, (4) kiat peninjauan ke lapangan atau ekskursi, (5) kiat majalah dinding, (6) kiat tari dan nyanyi, (7) kiat permainan simulasi, (8) kiat informan penutur asli, (9) kiat video-tape, (10) kiat audio-motor units, (11) kiat identifi-kasi secara kultural perilaku umum, (12) kiat identifikasi konotasi kultural, (13) kiat minimalisasi persepsi yang ber-sifat stereotif, dan (14) kiat memanfaatkan bacaan otentik.
Selain teknik penyajian materi, teknik menghadapi pelajar baik di kelas maupun di luar kelas perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran BIPA. Hal ini mengingat bahwa pelajar BIPA adalah bukan pelajar Indonesia, yakni pelajar asing yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan pengajarnya. Beberapa teknik yang dapat ditempuh dalam menyikapi pelajar BIPA baik di dalam maupun di luar kelas adalah (1) menunjukkan sikap disiplin terhadap waktu, (2) menunjukkan sikap tanggung jawab terhadap kerja/tugas, (3) menunjukkan sikap sebagai teman, (4) menunjukkan sikap yang tahu terhadap masalah bahasa, (5) menunjukkan sikap sabar dan telaten, (6) menunjukkan sikap terbuka, (7) menunjukkan sikap bersemangat.
Dalam pembelajaran bahasa di kelas, suasana kelas sangat menentukan keberhasilan belajar. Suasana kelas perlu diciptakan sekondusif mungkin. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pengajar BIPA dalam menciptakan suasana kelas agar kegiatan belajar-mengajar tetap berlangsung, yakni (1) dengan menggunakan humor, (2) mengubah/memberikan materi-materi yang menantang, (3) memberikan nyanyian, (4) memberikan teka-teki (puzzles), (5) memberikan kepada pelajar untuk beristirahat sebentar, dan (6) mengajak pelajar pindah ke tempat lain, misalnya(di luar kelas, di warung kopi, dsb. (periksa Suyitno, 2005).

PENUTUP
Pembelajaran BIPA berbeda dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya. Pelajar BIPA adalah pelajar asing yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda dengan pelajar Indonesia. Karena itu, dalam pembelajaran BIPA, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari para pengajar dan pengelola BIPA.
Keseriusan tersebut hendaknya direalisasikan dalam perencanaan materi ajar, pelaksanaan pembelajaran, atau pun dalam pengelolaan program-program kegiatan pembelajaran lainnnya. Untuk dapat memberikan layanan yang terbaik dalam pembelajaran BIPA, pemahaman tentang norma pedagogik dan analisis kebutuhan belajar pelajar asing asing sangat diperlukan.

DAFTAR RUJUKAN
Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Gass, Susan M, dkk. (eds.). 2002. Pedagogical Norms for Second and Foreign Language Learning and Teaching. Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Hoed, Beny H. 1995. Kerjasama Antarpemerintah dan Antarlembaga untuk Pengembangan BIPA. Makalah Kongres BIPA 1995 Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta.
Machmoed, Zaini. 1990. Proses dan Evaluasi Pembelajaran dan Pengajaran Kompetensi Komunikatif, dalam Warta Scientia, No. 49. Th. XVIII, April 1990.
Magnan, Sally Sieloff dan Walz, Joel. 2002. Pedagogical Norms: Development of Concept and Illustrations from French, dalam Gass, Susan M, dkk (eds.). 2002. Pedagogical Norms for Second and Foreign Language Learning and Teaching. Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Richards, J.C. dan Rogers, T.S. 1983. Approaches and Methods in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Sameng, Andi Mappi. 1995. Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing serta Peranannya, Makalah Kongres BIPA 1995 di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Jakarta.
Seelye, H.Ned. 1994. Teaching Culture: Strategies for Intercultural Communication. Illinois: National Textbook Company.
Sofyan, Lia Angela S. 1983. Pengajaran ESP pada Tingkat Perguruan Tinggi, dalam Linguistik Indonesia, thn. I No. 1, Januari 1983.
Sudiroatmadja, M.H. 1993. Bahasa Indonesia dalam Masyarakat Dunia. Yogyakarta: Pusat Penelitian Sanata Dharma.
Sugino, S. 1995. Pendekatan Komunikatif-Integratif-Tematis dalam Pengembangan Bahan dan Metodologi Pengajaran BIPA di Indonesia, Makalah Kongres BIPA 1995 Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta.
Suyitno, Imam. 2005. Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing: Teori, Strategi, dan Aplikasi Pembelajarannya. Yogyakarta: CV Grafika Indah.
Suyitno, Imam. 2004. Pengetahuan Dasar BIPA: Pandangan Teoritis Belajar Bahasa. Yogyakarta: CV Grafika Indah.
Wojowasito, S. 1976. Perkembangan Ilmu Bahasa (Linguistik) Abad 20. Bandung: Shinta Dharma.
Wolff, John U.; Oetomo, Dede; dan Fietkiwicz. 1988. Beginning Indonesian Through Self-Instruction, Book 1. Ithaca: Cornell University, SEAP.
06/01/2008

TEKNIK MERUJUK DAN PENULISAN DAFTAR RUJUKAN

Penulisan Kutipan Langsung
Kutipan langsung: kutipan dari sumber pustaka tertentu diambil secara langsung sesuai dengan aslinya.
* Tanpa mengubah bahasa dan tulisan
* Cara penulisan: (1) kutipan pendek dan (2) kutipan panjang.

1) Kutipan Pendek
* panjang kutipan kurang dari 40 kata atau kurang dari 5 baris
* ditulis di antara tanda kutip (“…”)
* sebagai bagian yang terpadu dalam teks utama
* sumber kutipan dapat dituliskan di awal kutipan atau di akhir kutipan.
* sumber kutipan yang dituliskan adalah
a. nama pengarang (cukup nama belakang, jika namanya lebih dari satu kata;
b. tahun terbit dari sumber kutipan; dan
c. nomor halaman dari sumber kutipan.

Contoh:
a) Nama pengarang disebut di awal kutipan
Sucipto (1990:123) menjelaskan “dalam memperlancar proses pembangunan di wilayah pedesaan diperlukan partisipasi tokoh masyarakat, warga masyarakat, dan aparat pemerintahan desa”.

b) Nama pengarang disebut di akhir kutipan
Sesuai dengan uraian di atas, dijelaskan “dalam memperlancar proses pembangunan di wilayah pedesaan diperlukan partisipasi tokoh masyarakat, warga masyarakat, dan aparat pemerintahan desa” (Sucipto, 1990:123).
c) Di dalam kutipan terdapat tanda kutip
Dalam penjelasannya, Dardjowidjoyo (1992:4) menjelaskan “Kota Leiden di Negeri Belanda merupakan ‘kota suci’ berkembangnya pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing”.

2) Kutipan Panjang
* kutipan yang berisi 40 kata atau lebih atau 5 baris atau lebih
* terpisah dari teks yang mendahului;
* dimulai setelah ketukan ke 5 dari garis tepi sebelah kiri,
* diketik dengan spasi tinggal
* dituliskan juga sumber kutipannya seperti pada kutipan pendek.
Contoh:
Smith (1990:276) menarik kesimpulan sebagai berikut.
The “placebo effect” which had been verified in previos studies, disappeared when behaviors, were studied in this manner. Furthermore, the behaviors, were never exhibited again, even when real drugs were administered. Earlier studies were clearly premature in attributing the results to a placebo effect.
Jika dalam kutipan terdapat paragraf baru lagi, garis barunya dimulaii dengan lima ketukan lagi dari tepi garis teks kutipan.

Penulisan Kutipan Tak Langsung
* Kutipan tak langsung: kutipan yang dituliskan secara tak langsung atau dikemukakan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri.
* Termasuk dalam kutipan tidak langsung tersebut kutipan terjemahan, kutipan saduran, kutipan ringkasan, dan kutipan parafrase.
* Cara penulisannya adalah sebagai berikut.
(1) Tanda kutip tidak dituliskan;
(2) Penulisannya terpadu dengan teks;
(3) Nama pengarang dari sumber kutipan dapat ditulis di awal atau di akhir kutipan.
(4) Nomor halaman tidak harus disebutkan.
Contoh:
a) Nama pengarang disebut di awal kutipan
Sarina (1990) mengemukakan bahwa tidak semua pengajar BIPA di Indonesia memiliki pendidikan dan pengalaman dalam mengajarkan BIPA.
b) Nama pengarang disebutkan di akhir kutipan
Sejalan dengan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa tidak semua pengajar BIPA di Malang memiliki pendidikan dan pengalaman dalam mengajarkan BIPA (Sarina, 1990).

Bentuk Pengutipan

1. Kutipan sebagai penguat atau pendukung gagasan
…………………………………………………………………………………………………………………………………………. Sehubungan dengan itu, Sarina (1990) menjelaskan ….
Atau
……………………………………………………………………………………………………………………………. Hal ini sejalan dengan pendapat Sarina (1990) yang menyatakan bahwa ….

2. Kutipan sebagai titik pangkal atau sumber utama penulis
Sarina (1990) mengemukakan bahwa tidak semua pengajar BIPA di Indonesia memiliki pendidikan dan pengalaman dalam mengajarkan BIPA. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa …..
Atau
Pengajar BIPA di Indonesia belum semuanya memiliki pendidikan dan pengalaman dalam mengajarkan BIPA (Sarina, 1990). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa …

3. Kutipan sebagai penguat dalam penyusunan simpulan
…………………………………………………………………………………………………………………………………………. Sehubungan dengan itu, Sarina (1990) menjelaskan …………………………………………………………
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa …….

4. Beberapa kutipan sebagai unsur utama dalam pembuatan simpulan
Sarina (1990) menjelaskan bahwa ……………………………….. Lebih lanjut, Suminto (1995:15) menyatakan bahwa ………………………………… Dalam hal ini, pengajar hendaknya ……………………………………………… bukan sekedar tahu apa yang hendak diajarkan (Sugino, 1998:20). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa ……………….

5. Kutipan berupa ide yang disadur langsung oleh penulis
………………… bahasan dari penulis …………………………………… ………………………… bahasan penulis ………………………..………………. …………………………bahasan penulis ………………………………………… ……………………………………………… (Suminto, 2001).

Penulisan Kutipan yang Telah Dikutip di Suatu Sumber
Kutipan yang diambil dari naskah yang merupakan kutipan dari suatu sumber lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dirujuk dengan cara menyebutkan nama penulis asli dan nama pengutip pertama serta tahun kutipnya. Cara merujuk semacam ini hanya dibolehkan jika sumber asli benar-benar tidak didapatkan, dan harus dianggap sebagai keadaan darurat.
Contoh:
Mapisameng (dalam Suyitno, 1995:3) menjelaskan bahwa perkembang-an pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing di Indonesia sangat strategis, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan negara Indonesia.
Teknik Penulisan Daftar Rujukan
Daftar rujukan merupakan daftar yang berisi buku, makalah, artikel, atau bahan lainnya yang dikutip baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahan-bahan yang dibaca akan tetapi tidak dikutip seyogyanya tidak dicantumkan dalam daftar rujukan, sedangkan semua bahan yang dikutip secara langsung maupun tak langsung dalam teks harus dicantumkan dalam daftar rujukan.
Hal-hal yang harus dituliskan dalam daftar rujukan adalah
(1) nama pengarang ditulis dengan urutan: nama akhir, nama awal, dan nama tengah, tanpa gelar akademik,
(2) tahun penerbitan,
(3) judul, termasuk sub-judul,
(4) tempat penerbitan, dan
(5) nama penerbit.
Unsur-unsur tersebut dapat bervariasi tergantung jenis sumber pustakanya. (Dalam daftar rujukan, urutan penulisan sumber rujukan mengikuti urutan alfabetis).

1. Sumber dari Buku
Sumber pustaka yang berasal dari buku, penulisannya sebagai berikut.
(1) Nama pengarang yang terdiri dari dua bagian ditulis dengan urutan: nama akhir diikuti koma, nama awal (disingkat atau tidak disingkat) diakhiri titik.
(2) Tahun penerbitan ditulis setelah nama pengarang, diakhiri dengan titik.
(3) Judul buku digaris-bawahi atau ditulis dengan huruf miring, dengan huruf besar pada awal setiap kata, kecuali kata hubung.
(4) Tempat penerbitan dan nama penerbit dipisahkan dengan titik dua (:).
Contoh:
Ramlan, M. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
Dekker, N. 1992. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa: Dari Pilihan Satu-satunya ke satu-satunya Azas. Malang: FPIPS IKIP Malang.

Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalah tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh lambang a, b, c, dan seterusnya yang urutannya ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul buku-bukunya.
Contoh:
Cornet, L. dan Weeks, K. 1985a. Career Ladder Plans: Trends and Emerging Issues-1985. Atlanta. GA: Career Ladder Clearing House.

2. Sumber dari Buku yang Berisi Kumpulan Artikel (ada editor).
Seperti menulis sumber dari buku ditambah dengan tulisan (Ed.) jika satu editor dan (Eds.) jika editornya lebih dari satu, di antara nama pengarang dan tahun penerbitan.
Contoh:
Letheridge, S. dan Cannon, C.R. (Eds). 1980. Billingual Education: Teaching English as a Second Language. New York: Praeger.

3. Sumber dari Artikel dalam Buku Kumpulan Artikel (Ada Editornya)
Penulisan Daftar Pustaka untuk sumber yang berasal dari artikel dalam buku kumpulan artikel (yang ada editornya) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
(1) Nama pengarang artikel ditulis di depan diikuti dengan tahun penerbitan.
(2) Judul artikel ditulis tanpa garis bawah.
(3) Nama editor ditulis seperti nama biasa, diberi keterangan (Ed.) bila hanya satu editor, dan (Eds.) bila lebih dari satu editor.
(4) Judul buku kumpulannya digarisbawahi atau ditulis dengan huruf miring, dan nomor halamannya disebutkan dalam kurung.
(5) Judul artikel ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama kata pertama.
(6) Judul buku ditulis dengan huruf besar dan kecil.
Contoh:
Hasan, M.Z. 1990. Karakteristik penelitian kualitatif. Dalam Aminuddin (Ed.), Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra (hlm. 12--25). Malang: HISKI Komisariat Malang dan YA3.

4. Sumber dari Artikel dalam Jurnal
Daftar Pustaka yang bersumber dari artikel dalam jurnal dituliskan sebagai berikut.
(1) Nama jurnal (majalah ilmiah) ditulis dengan garis bawah.
(2) Huruf awal dari setiap katanya ditulis dengan huruf besar kecuali kata hubung.
(3) Bagian akhir berturut-turut ditulis jurnal tahun ke berapa, dan nomor halaman artikel tersebut.
Contoh:
Hanafi, A. 1989. Partisipasi dalam siaran pedesaan dan pengadopsian inovasi. Forum Penelitian, 1 (1): 33--47.

5. Sumber dari artikel dalam Majalah atau Koran
Sumber dari artikel dalam majalah atau koran dituliskan sebagai berikut.
(1) Nama pengarang ditulis paling depan, diikuti oleh tahun, tanggal dan bulan (jika ada).
(2) Judul artikel ditulis tanpa garis bawah, dan ditulis dengan huruf kecil semua kecuali pada huruf awal kata pertama.
(3) Nama majalah ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama setiap kata, dan diberi garis bawah.
(4) Nomor halaman disebut pada bagian akhir.
Contoh:
Huda, M. 1991, 13 November. Menyiasati krisis listrik musim kering. Jawa Pos, hlm.6.



6. Sumber dari Koran Tanpa Pengarang
Sumber dari koran atau majalah tanpa pengarang dituliskan sebagai berikut.
(1) Judul ditulis di bagian awal.
(2) Tahun, tanggal dan bulan ditulis setelah judul.
(3) Nama koran ditulis dengan garis bawah atau huruf miring.
(4) Nomor halaman ditulis terakhir.
Contoh:
Kompas. 21 Juni 1991. Mandor Pasar Tewas Ditikam Anak Buahnya, hlm. 7.

7. Sumber dari Dokumen Resmi Pemerintah yang Diterbitkan oleh Suatu Penerbit Tanpa Pengarang dan Tanpa Lembaga
Judul atau nama dokumen ditulis di bagian awal dengan garis bawah, diikuti tahun penerbitan dokumen, kota penerbit dan nama penerbit.
Contoh:
Undang-undang Republik Indonesia No.2 Th.1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya.

8. Sumber dari Lembaga yang Ditulis Atas Nama Lembaga Tersebut
Nama lembaga penanggung jawab labngsung ditulis paling depan, diikuti dengan tahun, judul karangan, nama tempat penerbitan, dan nama lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas penerbitan karangan tersebut.
Contoh:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1978. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

9. Sumber Berupa Karya Terjemahan
Nama pengarang asli ditulis paling depan, diikuti tahun penerbitan karya asli, judul terjemahan, nama penerjemah, tahun terjemahan, nama tempat penerbitan dan nama penerbit terjemahan. Apabila tahun penerbitan buku asli tidak dicantumkan, ditulis dengan kata “Tanpa tahun”.
Contoh:
Ary, D., L.C. Jacobs, dan A. Razavieh. Tanpa tahun. Pengantar Penelitian Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan, 1982. Surabaya: Usaha Nasional.

10. Sumber Berupa Skripsi, Tesis, atau Disertasi
Nama penyusun ditulis paling depan, diikuti tahun yang tercantum pada sampul, judul skripsi, tesis atau disertasi ditulis dengan garis bawah diikuti dengan pernyataan Skripsi, Tesis, atau Disertasi tidak diterbitkan, nama kota tempat perguruan tinggi, dan nama fakultas serta nama perguruan tinggi.
Contoh:
Pangaribuan, Tagor. 1992. Perkembangan Kompetensi Kewacanaan Pembelajaran Bahasa Inggris di LPTK. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang.


11. Sumber Berupa Makalah yang Disajikan dalam Seminar, Penataran, atau Lokakarya
Nama penyusun ditulis paling depan, dilanjutkan dengan tahun penyajian, judul makalah, kemudian diikuti pernyataan Makalah disajikan dalam …., nama pertemuan yang ditulis dengan garis bawah, lembaga penyelenggara, tempat, dan tanggal penyelenggaraan.
Contoh:
Huda, N. 1991. Penulisan laporan penelitian untuk jurnal. Makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar bagi Dosen PTN dan PTS di Malang Angkatan XIV, Pusat Penelitian IKIP Malang, Malang, 15 Januari 1991.


12. Rujukan dari Internet Berupa Karya Individual
Nama penulis ditulis seperti rujukan dari bahan cetak, diikuti secara berturut-turut oleh judul karya tersebut (dicetak miring) dengan diberi keterangan dalam kurung (online), dan diakhiri dengan alamat sumber rujukan tersebut disertai dengan keterangan kapan diakses, di antara tanda kurung.

Contoh:
Hitchcock, S. 1996. A Survey of STM Online Journals, 1990—95: The Calm before the Storm, (Online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey/ survey.html, diakses 12 Juni 1996).

13. Rujukan dari Internet Berupa Artikel dari Jurnal

Nama penulis ditulis seperti rujukan dari bahan cetak, diikuti secara berturut-turut oleh tahun, judul artikel, nama jurnal (dicetak miring) dengan diberi keterangan dalam kurung (online), volume dan nomor, dan diakhiri dengan alamat sumber rujukan tersebut disertai dengan keterangan kapan diakses, di antara tanda kurung.
Contoh:
Kumaidi. 1998. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu Pendidikan, (Online), Jilid 5, No. 4, (http://www.malang. ac.id, diakses 20 Januari 2000).

14. Rujukan dari Internet Berupa Bahan Diskusi
Nama rujukan ditulis seperti rujukan dari bahan cetak, diikuti secara berturut-turut oleh tanggal, bulan, tahun, topik bahan diskusi (dicetak miring) dengan diberi keterangan dalam kurung (Online), dan diakhiri dengan alamat e-mail sumber rujukan tersebut disertai dengan keterangan kapan diakses, di antara tanda kurung.
Contoh:
Wilson, D. 20 November 1995. Summary of Citing Internet Sites. NETTRAIN Discussion List (Online), (NETTRAIN@ubvm.cc.buffalo.edu, diakses 22 November 1995).


15. Rujukan dari Internet Berupa E-mail Pribadi
Nama pengirim (jika ada) dan disertai keterangan dalam kurung (alamat e-mail pengirim), diikuti secara berturut-turut oleh tanggal, bulan, tahun, topik isi bahan (dicetak miring), nama yang dikirim disertai keterangan dalam kurung (alamat e-mail yang dikirim).

Contoh:
Naga, Dali S. (ikip-jkt@indo.net.id). 1 oktober 1997. Artikel untuk JIP. E-mail kepada Ali Saukah (jippsi@mlg.ywcn.or.id).


(Dikutip dari buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Negeri Malang, tahun 2000)

HALAMAN DEPAN

1.ARTIKEL
- Budaya etnik
a.Kosakata Tuturan Lagu Banyuwangi
b.Indentifikasi Budaya Etnik Using
- Strategi pembelajaran
a.Pembelajaran Berbasis Masalah
- Evaluasi Pembelajaran
a.Pengembangan Alat Penilaian
- Sosiologi
a.Artmosfer Using
- Bipa
- Kebahasaan

2.OPINI

3.BUKU

4.RESENSI

Minggu, 17 Agustus 2008

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Pendahuluan
Belajar bahasa adalah belajar berbahasa, artinya berpraktik menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan maknanya dalam komunikasi. Karena itu, belajar bahasa terjadi dalam suatu kegiatan interaksi belajar-mengajar bahasa. Aktivitas interaksi pembelajaran bahasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan aktivitas interaksi pembelajaran mata pelajaran lainnya. Karakteristik aktivitas interaksi belajar-mengajar bahasa disajikan berikut ini.
(1) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar berpusat pada siswa. Artinya, siswa yang harus aktif dalam melaksanakan praktik penggunaan bahasa. Keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar merupakan salah satu karakteristik yang menonjol dari interaksi pembelajaran.
(2) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah secara langsung pada latihan atau praktik penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulis. Praktik penggunaan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa, karena pengajaran yang hanya difokuskan pada pemahaman kaidah bahasa tidak akan berpengaruh pada performansi aktual baik dalam berbicara maupun menulis.
(3) Aktivitas yang dilaksanakan dapat membina dan mengarahkan kemampuan siswa dalam memilih dan menata bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu tindak komunikasi. Faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi siapa partisipan wicara, untuk tujuan apa, dalam situasi bagaimana, dalam konteks apa, dengan jalur dan media mana, dan dalam peristiwa apa.
(4) Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah pada kreativitas penggunaan bahasa bukan hanya penggunaan bahasa yang bersifat mekanik. Aktivitas yang dilaksanakan harus benar-benar memberikan kesempatan kepada pelajar untuk menggunakan bahasa secara kreatif dengan jalan bebas memilih apa yang akan diungkapkan dan bagaimana mengungkapkannya. Latihan-latihan yang bersifat mekanik harus diminimalkan karena tidak memberikan kesempatan pada pelajar untuk berkreasi dalam memilih dan menata bahasanya sendiri.
Agar aktivitas interaksi belajar-mengajar sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat dicapai, setiap guru bahasa harus dapat berperan sebagai individu yang mampu memberikan bimbingan, memantau kegiatan siswa, menciptakan latihan-latihan kreatif, dan dalam kesempatan yang lain dapat bertindak sebagai teman komunikasi bersama-sama dengan siswa. Interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar berasal dari dan terletak pada siswa. Siswa harus mendapat kesempatan dalam interaksi komunikatif yang bermakna. Dalam hal ini siswa berperan sebagai subjek didik, sedangkan guru bertindak sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan, dan pembimbing siswa dalam berlatih berkomunikasi secara wajar.
Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam kegiatan belajar-mengajar harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan memotivasi belajar siswa. Motivasi yang tinggi akan dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini terjadi karena dengan motivasi yang tinggi, siswa terdorong untuk mengetahui, kemudian melakukan sesuatu untuk dapat menerima apa yang ingin diketahuinya tersebut. Peningkatan motivasi siswa dalam belajar dapat dilihat pada adanya keterlibatan secara aktif siswa terhadap hal-hal yang dipelajarinya. Sebaliknya, pengajaran yang kurang sesuai dengan kebutuhan siswa akan sangat membosankan, sehingga motivasi belajar siswa menjadi rendah.
Sehubungan dengan uraian di atas, berikut ini ditawarkan startegi pembelajaran berbasis masalah untuk pembelajaran bahasa Indonesia. Model tersebut disajikan secara singkat berikut ini.

Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
Strategi pembelajaran berbasis masalah (SPBM) merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat menciptakan kondisi belajar siswa lebih aktif dan kreatif. Melalui SPBM, siswa terlibat secara aktif dalam pemecahan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut, Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997) menyatakan bahwa SPBM adalah suatu pendekatan pembelajaran yang mengonfrontasikan pelajar secara positif dengan masalah-masalah praktis melalui stimulus dalam belajar (Dasna, 2005).
SPBM memiliki beberapa karakteristik di antaranya adalah (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar masalah, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa pembelajaran dengan model SPBM dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang telah diketahui dan apa yang perlu diketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerja sama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti memahami masalah, mengidentifikasi masalah, merancang kegiatan pemecahan masalah, mengumpulkan informasi dari berbagai rujukan, menginterpretasikan jawaban masalah, membuat simpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model SPBM dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan kata lain, penggunaan SPBM dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.



Pentingnya SPBM
SPBM merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam SPBM, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah, tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah. Oleh sebab itu, pelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian, tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri pelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan....”, “mengapa bisa terjadi....”, “bagaimana mengetahuinya...” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pelajar, motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pelajar tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan SPBM dalam pembelajaran dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari karena berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada cara dia membelajarkan dirinya.
Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pelajar yang diajar dengan SPBM, yaitu (1) inkuiri dan keterampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Siswa yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill), yakni mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. SPBM juga bertujuan untuk membantu pelajar siswa belajar secara mandiri.
Pembelajaran SPBM dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor, yaitu kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218).
Kasus-kasus berhubungan dapat membantu pelajar untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu siswa belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu pelajar meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi pelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas berpikir luas (divergent) dalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang ditetapkan, siswa dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah dan dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar bahasa, pengetahuan siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.
Cognitive tools merupakan bantuan bagi pelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu pelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.
Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu pelajar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”.
Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi intensif yang di dalamnya terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat membantu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah.
Dukungan sosial dan kontekstual berhubungan dengan kondisi yang menjadikan masalah (yang menjadi fokus pembelajaran) dapat membuat pelajar termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok ini penting dalam menumbuhkan kondisi yang saling memotivasi antarpelajar. Suasana kompetitif antarkelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh guru untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa SPBM sebaiknya digunakan dalam pembelajaran dengan beberapa alasan sebagai berikut.
(1) Dengan SPBM akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi diterapkannya konsep tersebut.
(2) Dalam situasi SPBM, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang dilakukan oleh siswa sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori akan ditemukan oleh mereka selama pembelajaran berlangsung.
(3) SPBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, menumbuhkan motivasi intrinsik untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Gejala umum yang terjadi pada siswa pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan ini berlangsung terus, siswa akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model SPBM merupakan alternatif yang dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong siswa berpikir dan bekerja dan tidak hanya menghafal dan bercerita.

Tahap-tahap SPBM
Ada beberapa cara menerapkan SPBM dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa atau mungkin juga diberikan oleh guru. Siswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.
Pemecahan masalah dalam SPBM harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian, siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan SPBM dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran SPBM menurut Pannen (2001) paling sedikit ada delapan tahapan, yaitu (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk memecahkan masalah. Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berpikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula keterampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam SPBM. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah sering menjadi ”masalah” bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun tidak melakukan intervensi terhadap masalah, guru dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan.
Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam SPBM adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan siswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui SPBM. Namun, yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas. Apalagi jika SPBM digunakan untuk proses pembelajaran di perguruan tinggi.
Arends (2004) merinci 5 fase pelaksanaan SPBM dalam pengajaran. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan SPBM. Fase-fase yang dimaksudkan sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Fase-fase Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase Aktivitas guru
Fase 1:
Mengorientasikan siswa pada masalah Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih
Fase 2:
Mengorganisasi siswa untuk belajar Membantu siswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi
Fase 3:
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai dan mencari informasi untuk penjelasan dan pemecahan masalah.
Fase 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Membantu siswa merencanakan dan menyi-apkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Fase 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Membantu siswa melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang digunakan selama berlangusungnya pemecahan masalah.

Fase 1: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan SPBM, tahapan ini sangat penting. Dalam hal ini, guru harus menjelaskan dengan rinci kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa dan juga oleh guru. Di samping proses yang akan berlangsung, perlu juga dijelaskan cara evaluasi yang akan dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu (1) tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi siswa yang mandiri, (2) permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan sering bertentangan, (3) selama tahap penyelidikan, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi, sedangkan guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, dan (4) selama tahap analisis dan penjelasan, siswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Semua siswa diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.

Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Disamping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, SPBM juga mendorong siswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerja sama dan sharing antaranggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa yang tiap-tiap kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antaranggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru perlu penting memonitor dan mengevaluasi kerja tiap-tiap kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah siswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar, guru dan siswa menetapkan sub-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.

Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah inti dari SPBM. Kegiatan yang dilakukan pada fase ini meliputi mengumpulkan data dan melakukan eksperimen, berhipotesis dan membuat penjelasan, dan memberikan pemecahan.
Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini, siswa seharusnya lebih dari sekedar membaca masalah-masalah dalam buku-buku. Guru perlu membantu siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber. Guru hendaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang diselidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong siswa untuk menyampaikan ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berpikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi siswa. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”. Oleh karena itu, selama fase ini, guru harus menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas siswa dalam kegaitan penyelidikan.

Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan memamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, tetapi bisa berupa videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berpikir siswa. Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan siswa-siswa lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.

Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam SPBM. Selama fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan SPBM untuk pengajaran.

SPBM dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
SPBM dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia. SPBM memiliki manfaat besar dalam melatih kreativitas, daya pikir, dan kemandirian siswa. Gallagher, dkk. (1995) menyatakan bahwa SPBM dapat digunakan sebagai alat dan eksperimentasi yang melatih siswa untuk memecahkan masalah. Mereka menggunakan suatu kerangka kerja yang menekankan bagaimana para siswa merencanakan suatu kegiatan untuk menjawab sederet pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Gallagher berbasis pada “what do I know”, “what do I need to know”, “what do I need to learn”, dan “how do I measure or describe the result”. Selama fase merancang kegiatan berbasis masalah, para siswa mengidentifikasi berbagai persoalan dan menyusun suatu daftar setiap tahap kegiatan yang akan dilakukan.
Sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran, SPBM dapat diterapkan untuk untuk melatih siswa bekerja secara mandiri dan menggunakan potensi serta kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran, siswa mendapat porsi dan peluang besar untuk berlatih menggunakan daya pikir dan keterampilannya dalam menyerap dan menguasai materi ajar yang dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan ruh pembelajaran bahasa, yakni melatih dan membelajarkan siswa terampil dan mahir berbahasa. Anak yang terampil dan mahir berbahasa adalah anak yang dapat menggunakan kompetensi dan performansi bahasanya secara optimal, baik kompetensi dan kompetensi berbahasa reseptif maupun produktif.
Pembelajaran bahasa pada hakikatnya adalah pembelajaran menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Dalam pembelajaran bahasa, siswa dilatih dan dibelajarkan untuk menggunakan bahasa sebagai wahana untuk menyerap informasi, menganalisis, menyintesis, mengevaluasi, dan menyampaikannya sebagai informasi baru. Bahasa dalam hal ini difungsikan sebagai sarana untuk berpikir, bernalar, dan berkomunikasi, bukan sebagai materi yang harus dihafal.
Pada umumnya, pembelajaran bahasa sering terjebak pada pembelajaran konseptual tentang bahasa. Bahasa diajarkan sebagai konsep yang harus dihafal dan dimengerti oleh anak sebagaimana pembelajaran ekonomi, kimia, fisika, dan biologi. Anak dibebani pekerjaan untuk menghafal sejumlah istilah yang tidak menguntungkan bagi pembelajaran bahasa. Wal hasil, anak lebih mahir menjelaskan istilah-istilah tersebut, tetapi tidak mampu menggunakan atau menerapkan istilah tersebut dalam aktivitas berbahasa (dalam menulis misalnya). Sebagai contoh, anak memahami dan mampu menjelaskan serta memberi contoh pengertian sinonim, tetapi anak tidak dapat memanfaatkan sinonim tersebut untuk kepentingan menulis atau membaca. Karena itu, model pembelajaran yang demikian ini perlu dirombak sehingga menjadi model pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif.
Standar isi kurikulum bahasa Indonesia menekankan materi pembelajaran bahasa yang lebih bersifat fungsional. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, diharapkan siswa mampu menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan fungsinya. Sebagai contoh, beberapa pokok materi ajar bahasa Indonesia dalam kurikulum bahasa Indonesia SMA adalah membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, menyusun proposal, dan sebagainya. Siswa perlu dilatih dan dibelajarkan menggunakan bahasa Indonesia untuk kepentingan membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, dan menyusun proposal, bukan diminta untuk memahami dan menghafal sistematika dan ciri-ciri surat, karya ilmiah, paragraf, dan pidato.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia secara fungsional, terdapat tiga masalah pokok yang perlu mendapatkan perhatian dari guru. Ketiga masalah pokok tersebut adalah (a) masalah isi/topik, (b) masalah sistematika/format, dan (c) masalah tatanan bahasa dengan berbagai variasi kesantunannya. Masalah isi/topik merupakan masalah pengetahuan umum yang penguasaannya dapat dilatihkan kepada siswa melalui berbagai bidang studi dan dengan banyak membaca. Masalah sistematika/format merupakan perihal standar yang dapat ditemukan dalam berbagai refernsi. Sementara, masalah bahasa dengan variasi kesantunannya merupakan masalah yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam pengemgembangannya. Karena itu, masalah ketiga ini merupakan fokus utama yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam aktivitas pembelajaran.
Berdasarkan karakteristik materi ajar bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, SPBM dapat dipandang sebagai salah satu strategi yang memberikan peluang besar bagi aktivitas kelas dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Melalui pembelajaran dengan strategi SPBM, aktivitas pembelajaran akan menyadarkan siswa untuk bertanya pada dirinya sendiri tentang masalah/topik apa yang akan diketahui, aktivitas apa yang perlu dilakukan untuk mengetahuinya, bagaimana usaha untuk mempelajarinya, dan bagaimana mengukur keberhasilan dan mendeskripsikan hasilnya. Jika kesadaran siswa dalam belajar telah sampai pada taraf tersebut, hal ini berarti bahwa aktivitas kelas telah berhasil dalam mencapai tujuan pembelajaran, yakni penciptaan kelas learning how to learn.

Penerapan SPBM dalam Pembelajaran
a. Hal yang harus disiapkan guru sebelum pembelajaran
1) Lakukan identifikasi dan pemetaan topik/kompetensi dasar dalam kurikulum yang akan dibelajarkan kepada siswa.
2) Siapkan lembar-lembar kasus/masalah yang akan diberikan kepada siswa.
3) Lakukan penjajagan ke perpustakaan sekolah untuk menentukan keberadaan sumber referensi yang diperlukan.
4) Siapkan sumber referensi lain yang diperlukan jika hal tersebut tidak tersedia diperpustakaan.
5) Buatlah rambu-rambu masalah dan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa.



b. Hal yang dilakukan guru selama pembelajaran
1) Ciptakan kondisi dan situasi kelas yang siap untuk menerima informasi dan melakukan aktivitas pembelajaran.
2) Sampaikan kepada siswa tentang topik/materi yang akan dipelajari.
3) Jelaskan tujuan yang akan dicapai dalam aktivitas pembelajaran.
4) Jelaskan aktivitas yang akan dan harus dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran.
5) Tentukan dan tawarkan kepada siswa apakah aktivitas terseebut dilakukan secara individual atau kelompok.
6) Jika aktivitas dilakukan secara kelompok, tentukan kelompok kerja siswa (pembentukan kelompok dapat dilakukan dengan beragam cara yang menarik).
7) Berikan kasus/masalah kepada siswa untuk dicari penyelesaiannya sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan.
8) Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengenali kasus dan mengidentifikasi kegaiatan yang akan dilakukan.
9) Arahkan siswa untuk memperdalam wawasannya tentang kasus dengan membacanya dari buku referensi (dapat mencarinya di perpustakaan atau disiapkan oleh guru).
10) Bimbinglah siswa untuk menemukan jawaban/penyelesaian masalah dengan cara mendiskusikannya dengan teman/kelompoknya.
11) Sarankan kepada siswa untuk segera menyusun laporan hasil pemecahan/penyelesaian kasus/masalah.
12) Lakukan aktivitas seminar/sidang pembahasan kasus per kelompok atau antarkelompok (aktivitas ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran yang menarik, misalnya: jig saw, pemajangan karya dan komentar kelompok lain, atau model lainnya).
13) Lakukan sidang pleno pembahasan kasus dan penarikan simpulan.
14) Lakukan aktivitas refleksi.




Beberapa Catatan Penting
a. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru jangan sampai terjebak pada pembelajaran konsep, tetapi guru hendaknya lebih menitikberatkan pada pembelajaran keterampilan menggunakan bahasa.
b. Siswa jangan dibebani oleh usaha untuk menghafalkan konsep/istilah, tetapi hendaknya lebih difokuskan pada upaya menggunakan konsep/istilah tersebut.
c. Dalam membelajarkan topik tertentu, guru sebaiknya lebih banyak menggunakan model ilustratif bukan model definitif.
d. Dalam mempersiapkan aktivitas pembelajaran, guru tidak perlu menjelaskan nama metode yang akan digunakan, tetapi langsung mengarahkan siswa pada aktivitas yang harus dilakukan berdasarkan metode itu.
e. Dalam mempersiapkan pembelajaran, guru jangan disibukkan oleh pembekalan diri terhadap banyaknya materi yang akan diajarkan, tetapi perkayalah diri dengan berbagai strategi untuk membelajarkan siswa tentang materi itu.
f. Sumber dan media belajar bahasa Indonesia tidak hanya berupa buku teks, tetapi telah tersedia banyak dan bervariasi di lingkungan kita.
g. Dalam aktivitas pembelajaran, berikan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi dan beralternasi dalam berpendapat selama yang bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya itu.

DAFTAR PUSTAKA
Boud, D. Dan Felleti, G.I. 1997. The challenge of problem based learning. London: Kogapage
Cannon, K.C dan Krow, G, R. 1998. Synthesis of Complex Natutal Product as a Vehicle for Student-centered, Problem-based Learning. Journal of Chemical Education, 75(10), 1259-1260.
Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan Kooperatif learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah metodologi penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UM.
Depdiknas. 2004. Landasan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. Jakarta: Dirjen
Dikdasmen.
De Porter, B., Reardon, M., dan Sarah Singer-Nourie. 2001. Quantum Teaching. Bandung:Kaifa.
Fogarty, R. 1997. Problem-based learning and other curriculum models for the multiple intelligences classroom. Arlington Heights, Illionis: Sky Light.
Jonassen, D.H. 1999. Designing constructivist learning environments. Dalam Reigeluth, C.M. (Ed): Instructional-design theories and models: A new paradigm of instructional theory, volume II. Pp. 215-239. New Jersey: Lawrence Erlbaum associates, Publisher.
Sutrisno. 2006. Problem-based Learning. Dalam monograf Model-model pembelajaran Sains (kimia) inovatif. Malang:Jurusan Kimia